Kejadian seperti ini sering saya jumpai di kota tempat tinggal saya, perbatasan Jakarta Depok, entah di kota lain. Mungkin saja berbeda sesuai budaya daerah setempat.Â
Situasi tersebut berbeda dengan pasar swalayan, pembeli tidak akan menghadapi pengalaman seperti itu. Umumnya pengunjung bebas melihat-lihat barang yang dipajang, selama yang pengunjung mau.
Pun tidak akan ada yang memarahi jika pengunjung sekadar melihat-lihat tanpa membeli apapun. Bahkan karyawan di sana umumnya memasang muka ramah, penuh senyum dan salam.Â
Uniknya, sependek pengetahuan saya, situasi penjual yang judes, sepertinya tidak pernah saya temui di tempat kelahiran saya di Kota Tanjungandan, Belitung. Padahal saya dulu paling sering diajak ibu menemaninya berbelanja di pasar.
Seingat saya penjual di sana ramah-ramah. Kalau pun kita tidak jadi membeli, penjual akan tetap tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Â
Keramahan yang sama juga saya temui saat tinggal di Bogor. Penjual di pasar tradisional di Kota Bogor umumnya bersikap ramah kepada pengunjung, entah mereka akan membeli atau tidak dagangannya.Â
Lalu mengapa di pinggiran Ibukota berbeda? Mungkin perlu satu artikel khusus untuk mengupasnya, hehe...Â
***
Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pasar tradisional. Saya hanya berbicara fakta dan realitas yang saya lihat dan alami.Â
Lagipula hal ini berbicara tentang selera. Setiap pengunjung atau pembeli memiliki selera berbeda dalam memilih tempat berbelanja. Pasar tradisional maupun pasar swalayan akan tetap memiliki pangsa konsumen sendiri.Â
Namun, kalau mereka yang menjadi bagian dari pasar tradisional ingin meniru metode berbisnis dari pasar swalayan juga tidak apa-apa. Berarti akan ada perubahan ke arah yang lebih baik, ya kan? (MW)Â