Semula saya mengingatkan akan kesepakatan kami, tetapi akhirnya saya tidak sampai hati melihat raut wajahnya yang terlihat begitu menginginkan mi instan tersebut. Apalagi memang saat itu sudah waktunya makan malam, kami masuk pesawat pukul 18.00.
Lalu, saya menimbang-nimbang dalam hati, tidak apalah membeli sesekali di dalam pesawat, toh tidak setiap saat, dan mungkin saja anak saya memang sudah lapar.Â
Akhirnya, kami memanggil mbak pramugari, dan cangkir mi instan dengan uap dan harum yang mengepul dari kuahnya itupun berpindah ke tangan anak saya. Saya pun harus merelakan Rp25.000,- untuk semangkuk mie instan tersebut.
Contoh kesepakatan lainnya, saya selalu mengajak anak saya bersepakat bahwa rencana atau rundown kegiatan berlibur bisa berubah sewaktu-waktu, bergantung pada situasi dan kondisi.
Misalnya, semula sudah direncanakan untuk berkunjung ke pantai saat berlibur di luar kota. Namun, karena cuaca yang tidak memungkinkan, rencana tersebut terpaksa dibatalkan. Nah, pada situasi begini, anak saya harus mengerti sesuai dengan kesepakatan yang telah kami buat sebelumnya.Â
5. Rela mengorbankan waktu pribadi
Hal ini berlaku buat orang tua, menpersiapkan diri sebelum berangkat dalam liburan keluarga. Bahwa berlibur bukan hanya untuk mencari kesenangan sendiri, tetapi terutama untuk kesenangan anak-anak.Â
Artinya, anak-anak tetap harus dalam pengawasan orang tua, dan mungkin saja harus lebih ekstra pengawasan.Â
Misalnya, ketika berlibur di water boom, pantai, atau kolam renang, orang tua benar-benar harus mencurahkan waktunya untuk mendampingi anak bermain.
Untuk itu, akan ada waktu pribadi yang dikorbankan. Orang tua harus rela mengorbankan me time-nya demi mengawasi anak-anak mereka.Â
Meskipun ada asisten rumah tangga atau pengasuh anak, sebaiknya orang tua tidak mempercayakan anak-anak sepenuhnya kepada mereka. Karena bagaimanapun, keselamatan anak tetaplah tanggung jawab orang tua.Â