Hubungan orangtua dan anak memang sangat dekat, seperti tanpa sekat layaknya. Namun, tetap saja untuk urusan harta (warisan) orangtua, anak harus memilki etika.
Beberapa waktu lalu saya ngobrol santai dengan Bu Min (bukan nama sebenarnya), seorang kenalan di gereja. Entah bagaimana, di tengah perbincangan tahu-tahu saja Bu Min curhat tentang seorang anaknya, bungsu laki-laki.Â
Bu Min bercerita, satu kali, saat suaminya belum genap seminggu meninggal dunia, anak bungsunya (sebut saja Rano) mengajaknya berbicara empat mata.Â
Semula Bu Min tidak pernah berpikir bahwa apa yang akan menjadi topik pembicaraan adalah masalah harta. Bu Min sendiri bukan orang kaya, tetapi juga bukan orang yang berkekurangan. Almarhum suaminya seorang pensiunan PNS.
Dalam pembicaraan tersebut, Rano membicarakan perihal rumah yang kini ditempati Bu Min (bersama almarhum suaminya dulu).
Menurut Rano, sesuai adat atau budaya suku mereka (suku ayahnya, sementara ibunya dari suku berbeda), rumah orangtua adalah hak milik anak bungsu laki-laki.
Dalam pembicaraan itu seolah Rano ingin menegaskan bahwa cepat atau lambat rumah yang ditempati Bu Min akan menjadi milik Rano.Â
Bu Min sangat kaget mendengar apa yang dikatakan Rano saat itu. Bukankah suaminya, ayah Rano sendiri baru saja meninggal dunia? Aroma kesedihan itu masih begitu kuat. Teganya anak kandung sendiri malah memikirkan harta berupa rumah, yang bahkan masih ditempati ibunya.Â
Rano sendiri sebenarnya bukan pengangguran. Rano memiliki posisi karier yang cukup baik di sebuah perusahaan swasta.
Hanya saja, menurut Bu Min, entah apa sebabnya, setelah dewasa Rano terlihat lebih materialistis dan hedonis. Hal ini tampak dari gaya hidup Rano yang lebih mengedepankan kesenangan dan kemewahan.
Untunglah Bu Min akhirnya mampu menguasai diri setelah mendengar perkataan Rano yang membuatnya shock. Selanjutnya, dengan tegas Bu Min berkata, bahwa rumah dan segala harta hasil jerih payahnya beserta suami tercinta tidak akan kemana-mana.Â