Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Akibat Jadi Perokok Pasif, Saya Positif TBC

9 November 2022   12:22 Diperbarui: 11 November 2022   07:33 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tuberculosis (Sumber: Shutterstock)

Pertengahan tahun 2003, saya mulai sering batuk-batuk.

Semula saya mengira ini hanya batuk biasa. Mungkin karena debu sebab saya sering pulang kerja naik motor menumpang seorang teman. 

Saya pun tidak minum obat apapun, tetapi batuk itu terus terjadi berbulan-bulan. Hingga satu saat, ketika saya batuk dan menutup mulut dengan tisu, saya lihat ada titik-titik darah di tisu itu. Wow, saya batuk darah. 

Namun kejadian tersebut dan beberapa kali kejadian batuk darah sesudahnya tidak membawa saya langsung berobat. Walaupun ada setitik kekhawatiran, tetapi saya abaikan. Saya merasa masih kuat dan masih bisa bekerja seperti biasa. 

Tetapi, perlahan berat badan saya terus menurun. Hingga dua bulan sebelum saya akhirnya benar-benar sakit, rafsu makan saya perlahan menghilang. Tubuh saya tipis sudah seperti papan penggilasan. 

Mau seenak apapun makanan yang disajikan di hadapan saya, selera makan saya tidak ada. Saya memaksa makan hanya agar tidak lapar dan lemas. Hingga akhirnya di bulan April 2004, saya demam selama dua hari, tidak berhenti batuk, dan merasakan kelelahan yang luar biasa. 

Sampai masuk hari ketiga demam dan saya sudah tidak tahan lagi, pukul dua pagi saya dibawa ke Rumah Sakit Puri Cinere. Itupun sampai harus membangunkan pacarnya kakak yang tinggal di Gandul, untuk membantu membawa saya ke rumah sakit. 

Saya belum menikah waktu itu, dan tinggal berdua di Jakarta dengan kakak sulung saya yang juga belum menikah. 

Bersyukur waktu itu kebetulan ibu baru datang dari Bangka menjenguk anak-anak gadisnya. Jadi ada ibu yang merawat saya selama sakit. 

Hampir satu minggu saya dirawat di rumah sakit. Dan dari beberapa pemeriksaaan dan tes yang dilakukan, saya positif terkena TBC. 

Mengutip dari Kompas.com, TBC atau Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang menyerang paru-paru. 

Dokter internis yang merawat saya memang menyebutnya flek paru-paru. Kadang saya juga dengar beliau menyebutnya TB. Terdengar lebih halus memang, tetapi sama saja, itu TBC. 

Sumber : Kompas.com
Sumber : Kompas.com

Satu kali ketika saya sedang berbaring di kamar perawatan, seorang dokter diiiringi beberapa perawat masuk. Dokter ini bukan dokter yang merawat saya. Sepertinya dokter ini keliling untuk satu keperluan, entah apa. 

Saat tiba di samping tempat tidur saya, dokter bertanya pada perawat perihal sakit saya. Setelah dijawab TB oleh perawat, dokter itu langsung bertanya ke saya,

"Merokok?"

Refleks saya langsung menjawab, 

"Nggak, Dok," sembari menggelengkan kepala. 

Saya pun mulai berpikir setelah pertanyaan dokter tersebut. Kenapa ya saya bisa kena TBC, padahal saya tidak merokok? Suami saya (waktu itu status masih pacar) tidak merokok juga. 

Ketika dokter yang merawat datang, saya langsung bertanya

"Kok saya bisa TBC, Dok? Kan saya nggak merokok?"

Dokter ini dengan lemah lembut seolah hendak menghibur saya, menjawab, "Siapa saja bisa kena TBC. Bahkan dokter dan perawat pun bisa kena."

Kalimat pertanyaan dan jawaban dari para dokter tadi perlahan membuka pikiran saya. Saya mulai merenung dan mencoba mereka-reka penyebab saya bisa sampai terkena TBC. 

Lingkungan pekerjaan saya saat itu didominasi laki-laki, hampir 80 persen. Dan sebagian besar di antaranya adalah perokok aktif.

Hubungan saya dan rekan-rekan kerja kala itu cukup dekat. Dan kami punya kebiasaan untuk makan bersama saat jam istirahat.

Setelah makan, teman-teman perokok biasanya akan langsung menyalakan rokok masing-masing. Dan saya sebagai perokok pasif berada di tengah-tengah mereka, ikut menikmati asap rokok penuh racun itu. 

Ditambah lagi situasi kantin karyawan yang umumnya memang dipenuhi asap rokok tiba waktu istirahat karyawan. Lengkap sudah asupan asap racun ke paru-paru saya. 

Melansir dari halodoc.com, tuberkulosis dapat terjadi pada siapa saja, tetapi perokok termasuk perokok pasif nampaknya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami penyakit paru-paru tersebut.

Menurut analisis penelitian yang diterbitkan dalam Archives of Internal Medicine, sekitar sepertiga dari populasi dunia terinfeksi bakteri yang menjadi penyebab tuberkulosis, tetapi organisme ini biasanya bisa diredam atau menjadi tidak aktif oleh sistem kekebalan tubuh.

Dalam kasus saya, kemungkinan daya tahan tubuh saya nenjadi lemah akibat tiap hari terpapar asap rokok, sehingga bakteri tersebut menjadi aktif dan menyerang paru-paru saya. 

Setelah keluar dari rumah sakit, saya wajib minum obat setiap hari selama 6 bulan, yang kemudian diperpanjang hingga 9 bulan. 

Selain itu, satu kali dalam sebulan saya juga harus kembali kontrol ke dokter internis yang merawat saya. Juga harus beberapa kali menjalani rontgen paru-paru untuk melihat kondisi flek yang tadinya bercokol di sana. 

Puji Tuhan, akhirnya saya sembuh dan hingga saat ini tidak pernah ada keluhan lagi. 

Dari kejadian itu, saya insaf seinsaf-insafnya. Melalui kejadian itu saya seperti ditegur dan diingatkan betapa jahatnya asap rokok itu. Betapa parah akibatnya yang dirasakan bagi tubuh, terutama paru-paru. 

Jadi sudah waktunya saya tidak boleh lagi bermain-main dengan asap rokok. Tidak boleh lagi bertoleransi dengannya. Sekalipun teman atau saudara yang merokok, saya harus menjauh, karena konsekuesi dari asap rokok itu tidak main-main. 

Sebenarnya, seandainya saja saya langsung berobat ketika sudah ada gejala batuk, terlebih batuk darah, pasti tidak akan separah itu sakit yang saya derita, dan saya tidak harus sampai dirawat di rumah sakit. 

Intinya, pengobatan memang penting, tetapi tindakan pencegahan jauh lebih penting. 

Hingga saat ini, di manapun berada, saya selalu berusaha menghindari asap rokok. Kalau kebetulan ada acara kumpul-kumpul keluarga, dan banyak kerabat yang merokok, saya akan langsung nenyingkir. 

Sejak kejadian itu pula, saya bertekad tidak mau punya suami perokok. Karena apa? 

Karena Wanita SUPER hanya untuk Pria SUPER.... 

(MW). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun