Dokter ini dengan lemah lembut seolah hendak menghibur saya, menjawab, "Siapa saja bisa kena TBC. Bahkan dokter dan perawat pun bisa kena."
Kalimat pertanyaan dan jawaban dari para dokter tadi perlahan membuka pikiran saya. Saya mulai merenung dan mencoba mereka-reka penyebab saya bisa sampai terkena TBC.Â
Lingkungan pekerjaan saya saat itu didominasi laki-laki, hampir 80 persen. Dan sebagian besar di antaranya adalah perokok aktif.
Hubungan saya dan rekan-rekan kerja kala itu cukup dekat. Dan kami punya kebiasaan untuk makan bersama saat jam istirahat.
Setelah makan, teman-teman perokok biasanya akan langsung menyalakan rokok masing-masing. Dan saya sebagai perokok pasif berada di tengah-tengah mereka, ikut menikmati asap rokok penuh racun itu.Â
Ditambah lagi situasi kantin karyawan yang umumnya memang dipenuhi asap rokok tiba waktu istirahat karyawan. Lengkap sudah asupan asap racun ke paru-paru saya.Â
Melansir dari halodoc.com, tuberkulosis dapat terjadi pada siapa saja, tetapi perokok termasuk perokok pasif nampaknya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami penyakit paru-paru tersebut.
Menurut analisis penelitian yang diterbitkan dalam Archives of Internal Medicine, sekitar sepertiga dari populasi dunia terinfeksi bakteri yang menjadi penyebab tuberkulosis, tetapi organisme ini biasanya bisa diredam atau menjadi tidak aktif oleh sistem kekebalan tubuh.
Dalam kasus saya, kemungkinan daya tahan tubuh saya nenjadi lemah akibat tiap hari terpapar asap rokok, sehingga bakteri tersebut menjadi aktif dan menyerang paru-paru saya.Â
Setelah keluar dari rumah sakit, saya wajib minum obat setiap hari selama 6 bulan, yang kemudian diperpanjang hingga 9 bulan.Â
Selain itu, satu kali dalam sebulan saya juga harus kembali kontrol ke dokter internis yang merawat saya. Juga harus beberapa kali menjalani rontgen paru-paru untuk melihat kondisi flek yang tadinya bercokol di sana.Â