Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama FEATURED

Di Sekolah Anak Saya, Guru Bisa Dapat Hadiah 3 Juta Setiap Bagi Rapor

13 Desember 2021   07:19 Diperbarui: 29 Juni 2022   08:30 12248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bingkisan hadiah | Sumber: TongroInc via lifestyle.kompas.com

Saya tidak pernah menyangka bahwa kecenderungan memberi hadiah atau bingkisan dalam bentuk barang atau uang dalam amplop kepada guru menjadi budaya yang begitu mewabah.

Bermula ketika anak saya TK. Ketika hendak pembagian rapor, beredar kabar di antara orangtua murid bahwa sebaiknya orangtua membawa bingkisan atau amplop berisi uang bagi wali kelas.

Konon sudah menjadi kebiasaan orangtua memberikan bingkisan berupa barang atau uang dalam amplop bagi guru atau wali kelas saat pembagian rapor, sebagai tanda ucapan terima kasih.

Semula saya pribadi merasa aneh dengan kebiasaan ini. Apa hubungannya terima rapor dengan bingkisan. Toh saya sudah melunasi kewajiban saya, membayar uang masuk, SPP dan beberapa pungutan lainnya. 

Lagi pula, bukankah memberikan pelayanan pendidikan dan membagikan rapor siswa memang merupakan kewajiban dan tugas guru?

Akhirnya, karena merasa tidak enak, saya ikut-ikutan memberikan amplop. Jumlah uangnya saya sesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.

Pemberian hadiah tersebut pun kemudian saya ikhlaskan ketika setelahnya saya mengetahui gaji guru TK anak saya sangat kecil kala itu, di bawah satu juta rupiah per bulan.

Saat anak saya masuk SD di sebuah sekolah swasta di Jakarta Selatan, kegiatan memberi hadiah kepada guru semakin tidak terkendali. Ibarat penyakit, budaya ini sudah memasuki fase kronis, stadium akhir.

Ada saja momen-momen yang "memaksa" orangtua turut andil iuran sejumlah uang untuk dikumpulkan lalu diberikan kepada guru. 

Momen-momen tersebut antara lain saat pembagian rapor yang artinya dua semester setiap tahun, dan saat guru berulang tahun.

Koordinatornya beberapa orangtua siswa yang sangat aktif menggerakkan budaya kasih-kasih bingkisan ini. Orangtua yang turut iuran akan didata dalam grup WA orangtua, nama siswa dan berapa jumlahnya.

Yang  membuat tidak enak, budaya ini menjadi semacam kewajiban bagi orangtua murid walaupun tidak ada hukum dan peraturannya. Banyak orangtua terpaksa menceburkan diri dalam kebiasaan ini.

Akan timbul rasa tidak enak ketika tidak ikut iuran. Apalagi ketika nama anaknya tidak tercantum dalam data nama siswa pemberi hadiah.

Selain itu, terkadang orangtua koordinator menghubungi orangtua murid secara pribadi menanyakan kesediaan orangtua tersebut untuk ikut iuran. Kalau sudah japri begitu, orangtua murid akan merasa tidak enak bila tidak ikut serta.

Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung. Sekalipun tidak dipatok berapa jumlahnya, umumnya seratus ribu rupiah per siswa. Rata-rata satu kelas ada 30 siswa, jadi terkumpul sekitar 3 juta bahkan bisa lebih. Karena banyak juga orangtua yang tidak segan-segan memberikan jumlah lebih dari itu, 200-300 ribu rupiah.

Uang yang telah terkumpul nanti akan diberikan kepada guru sesuai kesepakatan orangtua. Ada yang semuanya diberikan kepada guru wali kelas.

Ilustrasi hadiah uang untuk guru (Sumber: Okezone via regional.inews.id)
Ilustrasi hadiah uang untuk guru (Sumber: Okezone via regional.inews.id)

Ada pula yang dipilah-pilah. Porsi terbesar pasti untuk wali kelas, bisa hingga 75 persen. Sisanya baru dibagi-bagi untuk guru mata pelajaran yang tidak memegang kelas seperti guru komputer dan guru bahasa Inggris.

Namun, kadang kala tidak semua orangtua ikut mengumpulkan uang. Ada yang memberi amplop langsung ke guru, ada pula yang memberikan dalam bentuk barang.

Kegiatan ini terjadi setiap semester saat hendak pembagian rapor, saat kelulusan, atau saat guru berulang tahun.

Sekalipun hampir dua tahun ini anak-anak belajar di rumah karena pandemi, kegiatan pemberian hadiah ini tidak berhenti. Penggalangannya bahkan lebih intens melalui grup WA orangtua.

Membebani orang tua siswa

Tidak semua orangtua siswa memiliki penghasilan berlebih. Banyak juga orangtua siswa yang memaksakan diri agar anaknya bisa bersekolah di sekolah bagus dan mahal, tetapi sebenarnya penghasilan mereka terbatas.

Ini mereka lakukan semata demi memberi pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.

Membayar SPP, uang kegiatan sekolah, dan uang buku saja terkadang mereka sudah cukup kewalahan, apalagi kalau ditambah dengan berbagai iuran hadiah untuk guru.

Orangtua siswa yang memiliki kehidupan yang lebih mapan seharusnya tidak menyamaratakan kemampuan semua orangtua. 

Mungkin bagi mereka uang 100 ribu tidak ada artinya, hanya seharga jajan kopi dan roti nereka di kafe mahal. Namun, bagi orangtua murid yang lainnya nilai sebesar itu bisa saja sangat berarti.

Ada pembiaran dari pihak sekolah dan pihak berwenang

Budaya memberi hadiah pada guru semakin marak ketika ada pembiaran dari pihak sekolah. Begitu pula di SD tempat anak saya bersekolah dulu. Kepala sekolah jelas tahu ada budaya ini, tetapi dibiarkan begitu saja.

Ternyata budaya ini bukan hanya terjadi di sekolah anak saya. Di sekolah-sekolah lain baik swasta maupun negeri di kota saya dan kota sekitarnya budaya serupa marak terjadi. 

Hal ini membuat saya bertanya-tanya, apakah mungkin pihak yang berwenang dalam kebijakan dan pengawasan pendidikan yaitu Diknas tidak mengetahui hal ini. Rasanya tidak mungkin mereka tidak tahu. Ini sudah bertahun-tahun, lho. Kalau tidak mau tahu, entahlah...

Guru merasa hadiah itu haknya

Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang, lama-lama akan menjadi kebiasaan, lalu akhirnya menjadi budaya. Budaya dengan tujuan baik tentu sangat baik bila dikembangkan. Akan menjadi berbahaya ketika budaya tersebut cenderung berakibat negatif, termasuk budaya memberikan hadiah pada guru. 

Bila itu dibiarkan dan terus berkembang, bisa tumbuh kecenderungan di mana guru merasa hadiah itu adalah haknya, sehingga guru bisa merasa tersinggung dan kesal bila tidak menerimanya.

Bahkan banyak cerita di antara dari rekan-rekan orangtua dari sekolah lain, bahwa banyak guru bahkan merasa berhak meminta jenis hadiah tertentu sesuai keinginannya.

Mekanismenya, biasanya sebelum pembagian rapor, oknum guru akan memanggil orangtua murid tertentu berpura-pura hendak membicarakan kemajuan studi siswa.

Lalu di tengah obrolan terselip obrolan tentang keinginan oknum guru untuk memiliki barang tertentu yang belum dimilikinya, atau barang yang dimiliki rusak dan sangat butuh untuk segera diganti dengan yang baru. 

Ada pula oknum guru yang terang-terangan meminta jangan memberikan sprei lagi, sprei lagi. Sprei di rumahnya sudah banyak, begitu katanya. Semuanya hadiah dari orangtua siswa.

Seorang kerabat yang anaknya bersekolah di salah satu SDN di Jakarta Selatan pernah dipanggil secara pribadi oleh wali kelas anaknya. 

Wali kelas tersebut hanya ingin menyampaikan kalau dirinya hendak pergi berziarah rohani ke sebuah negara di Timur Tengah selama beberapa hari.

Semula kerabat ini tidak mengerti apa maksud wali kelas tersebut. Kerabat saya ini pun hanya memberikan ucapan selamat berziarah kepada wali kelas tersebut.

Setelah mengobrol dengan orangtua murid lainnya, barulah diketahui oknum guru tersebut secara terselubung bermaksud meminta jatah uang saku dari orangtua siswa. Hadeeuhh....

Seorang teman pernah bercerita pula, di sekolah anaknya, saat kelulusan, para guru meminta hadiah laptop sebagai hadiah kenang-kenangan bagi guru. Katanya laptop tersebut untuk keperluan sekolah.

Inilah kekhawatiran bila budaya ini terus dibiarkan. Keinginan seseorang akan terus bertambah seiring dengan yang didapatkannya. 

Nilai hadiah barang atau uang yang diinginkan pun akan semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Harus ada aturan yang jelas

Entah sejak kapan tradisi memberi hadiah ke guru ini mulai berkembang. Mungkin sudah sejak zaman kolonial, di mana guru sangat dihormati kala itu. Tetapi saat itu mungkin pemberian hadiah hanya dalam bentuk hasil kebun atau hasil pertanian.

Tradisi seperti ini ada nilai positifnya, antara lain sebagai bentuk penghargaan kepada guru. Pun sangat bermanfaat untuk guru-guru honorer yang memiliki gaji yang sangat minim. Atau untuk guru-guru di wilayah 3T yang memang harus mendapat penghargaan lebih.

Akan tetapi, tradisi seperti ini juga memberikan banyak dampak negatif. Pihak-pihak tertentu baik dari orangtua siswa maupun dari guru bisa memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, seperti untuk maksud menyogok, melancarkan segala urusan, dan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

Tradisi seperti inilah yang menjadi bibit-bibit bagi tumbuhnya korupsi. Memunculkan keinginan untuk memiliki lebih dari yang bukan haknya.

Menurut saya, seharusnya pihak terkait memberikan aturan yang lebih tegas dan jelas akan tradisi ini, baik untuk sekolah swasta maupun sekolah negeri.

Apa saja jenis hadiah yang bisa guru terima. Berapa batas nilai maksimalnya. Pada situasi atau momen apa guru boleh menerima hadiah. Dan aturan tersebut harus disosialisasikan kepada orangtua siswa.

Kemudian, sebaiknya ada tindakan nyata dan tegas dari pihak-pihak berwenang. Bukan hanya sekadar menerbitkan aturan lalu selesai, tanpa ada pengawasan dan penerapan sanksi tegas bagi pelanggar.

Apalagi di sekolah negeri, sebagian besar guru sudah menjadi bagian dari aparatur sipil negara. Untuk itu, guru di sekolah negeri sebaiknya menyikapi dengan hati-hati tradisi ini, karena hanya berbatas tipis dengan gratifikasi dan korupsi.

Orangtua siswa juga sebaiknya tidak membiasakan budaya ini. Jangan menempatkan guru pada posisi sulit. Karena pasti ada saja guru yang jujur, tidak suka menerima hadiah-hadiah, tetapi sungkan untuk menolak.

Setop gratifikasi, setop korupsi. Tumbuhkan budaya malu menerima yang bukan haknya, dan jangan punya mental peminta-minta. 

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun