Bila itu dibiarkan dan terus berkembang, bisa tumbuh kecenderungan di mana guru merasa hadiah itu adalah haknya, sehingga guru bisa merasa tersinggung dan kesal bila tidak menerimanya.
Bahkan banyak cerita di antara dari rekan-rekan orangtua dari sekolah lain, bahwa banyak guru bahkan merasa berhak meminta jenis hadiah tertentu sesuai keinginannya.
Mekanismenya, biasanya sebelum pembagian rapor, oknum guru akan memanggil orangtua murid tertentu berpura-pura hendak membicarakan kemajuan studi siswa.
Lalu di tengah obrolan terselip obrolan tentang keinginan oknum guru untuk memiliki barang tertentu yang belum dimilikinya, atau barang yang dimiliki rusak dan sangat butuh untuk segera diganti dengan yang baru.Â
Ada pula oknum guru yang terang-terangan meminta jangan memberikan sprei lagi, sprei lagi. Sprei di rumahnya sudah banyak, begitu katanya. Semuanya hadiah dari orangtua siswa.
Seorang kerabat yang anaknya bersekolah di salah satu SDN di Jakarta Selatan pernah dipanggil secara pribadi oleh wali kelas anaknya.Â
Wali kelas tersebut hanya ingin menyampaikan kalau dirinya hendak pergi berziarah rohani ke sebuah negara di Timur Tengah selama beberapa hari.
Semula kerabat ini tidak mengerti apa maksud wali kelas tersebut. Kerabat saya ini pun hanya memberikan ucapan selamat berziarah kepada wali kelas tersebut.
Setelah mengobrol dengan orangtua murid lainnya, barulah diketahui oknum guru tersebut secara terselubung bermaksud meminta jatah uang saku dari orangtua siswa. Hadeeuhh....
Seorang teman pernah bercerita pula, di sekolah anaknya, saat kelulusan, para guru meminta hadiah laptop sebagai hadiah kenang-kenangan bagi guru. Katanya laptop tersebut untuk keperluan sekolah.
Inilah kekhawatiran bila budaya ini terus dibiarkan. Keinginan seseorang akan terus bertambah seiring dengan yang didapatkannya.Â