Yang  membuat tidak enak, budaya ini menjadi semacam kewajiban bagi orangtua murid walaupun tidak ada hukum dan peraturannya. Banyak orangtua terpaksa menceburkan diri dalam kebiasaan ini.
Akan timbul rasa tidak enak ketika tidak ikut iuran. Apalagi ketika nama anaknya tidak tercantum dalam data nama siswa pemberi hadiah.
Selain itu, terkadang orangtua koordinator menghubungi orangtua murid secara pribadi menanyakan kesediaan orangtua tersebut untuk ikut iuran. Kalau sudah japri begitu, orangtua murid akan merasa tidak enak bila tidak ikut serta.
Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung. Sekalipun tidak dipatok berapa jumlahnya, umumnya seratus ribu rupiah per siswa. Rata-rata satu kelas ada 30 siswa, jadi terkumpul sekitar 3 juta bahkan bisa lebih. Karena banyak juga orangtua yang tidak segan-segan memberikan jumlah lebih dari itu, 200-300 ribu rupiah.
Uang yang telah terkumpul nanti akan diberikan kepada guru sesuai kesepakatan orangtua. Ada yang semuanya diberikan kepada guru wali kelas.
Ada pula yang dipilah-pilah. Porsi terbesar pasti untuk wali kelas, bisa hingga 75 persen. Sisanya baru dibagi-bagi untuk guru mata pelajaran yang tidak memegang kelas seperti guru komputer dan guru bahasa Inggris.
Namun, kadang kala tidak semua orangtua ikut mengumpulkan uang. Ada yang memberi amplop langsung ke guru, ada pula yang memberikan dalam bentuk barang.
Kegiatan ini terjadi setiap semester saat hendak pembagian rapor, saat kelulusan, atau saat guru berulang tahun.
Sekalipun hampir dua tahun ini anak-anak belajar di rumah karena pandemi, kegiatan pemberian hadiah ini tidak berhenti. Penggalangannya bahkan lebih intens melalui grup WA orangtua.
Membebani orang tua siswa