Lagu pengamen jalanan terkadang sangat menghibur. Keberadaan tukang parkir seringkali juga membantu para pengendara. Kehadiran mereka bisa jadi dibutuhkan atau malah dihindari.
Kita tentunya akan sangat menghargai seseorang dengan jenis pekerjaan apapun. Baik pekerja formal maupun pekerja informal. Selama orang tersebut menghargai pekerjaanya dan melakukannya dengan sungguh-sungguh.Â
Hanya saja, stigma buruk telanjur seringkali dilekatkan pada beberapa jenis pekerjaan informal. Ambil contoh pengamen dan tukang parkir.
Di Jakarta dan sekitarnya, kota dimana saya tinggal, pengamen dan juru parkir itu buanyaaak sekali. Bisa kita temui hampir di setiap sudut kota.Â
Pengamen, contohnya. Kalau pengamen yang benar-benar jual suara dan bermain alat musik dengan baik, tentu kita tidak akan ragu berbagi uang receh. Bahkan bila benar-benar bagus, orang tidak segan-segan memberi pecahan uang kertas dengan nilai yang lebih besar.
Cuma masalahnya, tidak setiap saat kita bisa berjumpa pengamen yang benar-benar berniat ngamen. Kebanyakan pengamen yang ditemui justru yang asal keluar suara dan asal bermain alat musik, yang penting dapat uang.
Di pertengahan tahun 2000-an, dimana metromini, kopaja, dan bus kota masih berseliweran di ibukota, pengamen menjadi ikon menakutkan bagi sebagian penumpang angkutan umum tersebut, termasuk saya.
Walaupun banyak pengamen yang benar-benar menghibur penumpang dengan suaranya dan suara alat musik yang enak didengar. Namun, pengamen yang "menebarkan ketakutan" jumlahnya juga tidak sedikit. Hal ini yang sering membuat saya dan sebagian penumpang perempuan khususnya was-was bila mereka muncul.
Dengan badan penuh tato, anting-anting di hidung dan bibir, celana sobek-sobek dan lusuh, ngomong-nya juga mirang-miring khas orang mabuk dan teler, siapa penumpang yang tidak ketar ketir?Â