Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Perjodohan Berujung Penderitaan, Jangan Sampai Terjadi

23 Mei 2021   07:12 Diperbarui: 23 Mei 2021   18:18 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan menikah| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Menemukan pasangan hidup bukanlah perkara mudah.

Merasa benar-benar klik lalu bersedia melangkah ke pelaminan bukan semudah membalikkan telapak tangan.

Tahapan proses yang dilalui setiap orang untuk menemukan pasangannya umumnya berbeda-beda. Cara Tuhan mempertemukan setiap pasangan pun beragam.

Ada yang bertemu kala satu sekolah. Ada yang bertemu karena satu tempat kos. Ada yang bertemu di tempat ibadah. Bahkan banyak yang bertemu di tempat kerja seperti saya dan suami.

Namun satu hal tidak bisa ditampik, banyak pasangan yang dipertemukan oleh perjodohan. Ya, Tuhan bisa menggunakan cara apa saja untuk menyatukan dua anak manusia.

Saya sendiri tidak pernah menentang perjodohan. Dengan catatan, selama perjodohan yang dimaksud adalah perjodohan tanpa paksaan. Artinya, perjodohan tersebut bersifat hanya memperkenalkan dua orang, pria dan wanita yang masih single.

Untuk selanjutnya, hendak dibawa ke mana hubungan tersebut, kedua orang tersebut yang menentukannya sendiri, tanpa paksaan pihak manapun.

Yang tidak saya setujui ketika pihak ketiga memaksa kedua orang tersebut menyatu dalam ikatan pernikahan, tanpa mempedulikan pendapat dan keinginan mereka.

Tidak peduli orang ketiga tersebut adalah orang terdekat seperti orangtua ataupun saudara kandung.

Sekalipun perjodohan tersebut dilakukan dengan dalih demi kebaikan anak, atau demi masa depan anak. 

Perlu dipahami, bahwa perspektif atau sudut pandang setiap orang tentang apa yang baik bagi dirinya, berbeda-beda untuk setiap pribadi. Apa yang dipandang baik bagi satu orang belum tentu baik bagi orang lain. Begitu pula apa yang baik bagi orangtua, belum tentu baik bagi anak.

Akan tetapi, ada pula perjodohan yang tanpa paksaan secara terang-terangan, namun mereka yang dijodohkan merasa tidak ingin mengecewakan orang-orang terdekat yang telah menjodohkannya, kemudian menerima saja perjodohan tersebut tanpa pertimbangan yang matang.

Saya telah melihat beberapa pernikahan yang berawal dari perjodohan dan tanpa pemikiran panjang, pada akhirnya rumah tangga tersebut berjalan kurang harmonis.

Salah satu di antaranya, pernikahan yang dijalani seorang wanita, bernama Tesia (bukan nama sebenarnya).

Tesia dan suaminya masih berkerabat dekat dan sudah saling mengenal sejak kecil. Pernikahan mereka terjadi lantaran dijodohkan oleh orangtua mereka masing-masing.

Entah apa alasan sebenarnya dari perjodohan tersebut. Sepertinya orangtua kedua pihak bermaksud mempertahankan kedekatan keluarga.

Walaupun Tesia sedari kecil sudah mengenal suaminya, namun sesungguhnya Tesia tidak mengenal karakter sesungguhnya dari suaminya itu. Saat kecil, mereka hidup berjauhan karena tinggal di kota yang berbeda.

Tesia dan suaminya yang sudah dididik sejak kecil untuk menjadi anak yang patuh pada orangtua, kemudian menerima saja perjodohan tersebut. Sekalipun tanpa didasari cinta, dan tanpa pertimbangan panjang, mereka menikah hanya demi menyenangkan orangtua.

Saya memahami bahwa Tesia berharap setelah menikah, cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Apalagi bila pria yang dijodohkan dengannya memperlakukannya dengan manis. Tentu mudah saja bagi seorang wanita untuk mencintai orang yang mencintainya.

Hanya saja, sayangnya, alur kehidupan tidak selalu berjalan seperti apa yang diharapkan. Laki-laki yang akhirnya menjadi suami Tesia memiliki karakter yang jauh dari impian Tesia tentang suami idaman.

Karakter mereka sangat bertolak belakang. Tesia yang berkarakter lebih luwes, bertentangan dengan karakter suaminya yang cenderung kaku dan tidak bisa dibantah.

Suami Tesia juga tidak menyukai hal-hal berbau romantis. Suami Tesia lebih menikmati hidup dengan caranya sendiri tanpa mempertimbangkan kehadiran Tesia sebagai istrinya.

Karakter yang sangat berbeda ini, disertai ketidakmampuan Tesia untuk beradaptasi, pada akhirnya membuat Tesia stres dan tertekan. Tesia pun tidak bisa membicarakannya dengan suaminya, karena suaminya tidak pernah merasa ada yang salah dengan karakter dan perilakunya. 

Komunikasi Tesia dan suaminya kemudian menjadi sangat buruk. Mereka hanya berbicara seperlunya. Selebihnya mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Keberadaan mereka seperti dua orang asing namun berbagi atap.

Bertahun-tahun hidup bersama dan telah memiliki beberapa anak, bukan berarti mereka baik-baik saja. Sekalipun tinggal di bawah satu atap, mereka seolah hidup sendiri-sendiri.

Miris sekali membayangkannya. Hidup bersama orang yang semestinya menjadi orang terdekat, justru layaknya seperti orang asing. Bahkan hubungan pertemanan lebih baik daripada hubungan yang mereka berdua jalani.

Sebenarnya, pernikahan yang buruk seperti apapun tidak ada yang tidak bisa diperbaiki, selama pasangan tersebut mau berusaha memperbaikinya. Hanya memang membutuhkan waktu dan effort yang lebih. Namun tetap bisa diusahakan untuk dibenahi.

***

Ilustrasi (Sumber: via Kompas.com)
Ilustrasi (Sumber: via Kompas.com)
Kehidupan pernikahan Tesia dan suaminya ini bisa menjadi salah satu pembelajaran bagi anak dan orangtua yang ingin menjodohkan anak-anak mereka.

Tak selamanya jodoh yang diajukan orangtua adalah yang terbaik. Apalagi bila orangtua memiliki motivasi-motivasi khusus di balik perjodohan itu.

Oleh karena itu, mengingat proses perjodohan umumnya hanya melewati masa perkenalan yang singkat, bahkan banyak yang tanpa proses pendekatan dan pacaran, ada baiknya pihak yang menjodohkan dan yang dijodohkan lebih cermat di dalam prosesnya.

Antara lain, bagi orangtua yang hendak menjodohkan anaknya atau siapa saja yang hendak menjodohkan seseorang, ada baiknya mempertimbangkan karakter masing-masing dari pasangan yang akan dijodohkan. Apakah mungkin dua orang dengan karakter tertentu yang berbeda dipersatukan dalam biduk pernikahan.

Lalu, perhitungkan pula seberapa besar dan seberapa cepat kemungkinan mereka untuk mampu beradaptasi dan akhirnya saling menerima, mencintai dan melengkapi dalam pernikahan mereka kelak. 

Tujuan melakukan hal di atas tentunya agar pasangan tersebut pada akhirnya bisa berbahagia dalam pernikahan mereka.

Begitu pula dengan mereka atau mungkin kamu yang saat ini sedang dijodohkan. Jangan langsung menolak, karena bisa jadi dia memang adalah jodoh kamu. Tetapi jangan pula langsung menerima. 

Sebaiknya, terlebih dahulu mencari tahu, mencermati, dan memahami dengan seksama karakter dan perilaku calon pasangan kamu.

Pertimbangkan dengan matang kemungkinan untuk menerima pasangan yang hendak dipasangkan dengan kamu. 

Ada baiknya pula kamu dan calon pasangan mengambil waktu yang cukup sebelum menikah, untuk saling mengenal sifat dan perilaku masing-masing.

Jangan pula kamu ragu untuk berkata tidak bila merasa tidak memiliki kecocokan. Hanya saja, sampaikanlah keberatan kamu dengan cara-cara yang bijaksana dan dengan alasan-alasan yang tepat.

Jangan hanya karena ingin menyenangkan orang lain, kamu mengorbankan hidup dan masa depan kamu.

Sebab pada akhirnya, yang akan menjalani pernikahan adalah kamu sendiri, bukan orangtua atau mereka yang menjodohkan kamu.

Kamu tentu tidak ingin hidup kamu terjebak selamanya dalam pernikahan yang hambar, tidak harmonis, dan tanpa cinta.

Salam.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun