Karakter yang sangat berbeda ini, disertai ketidakmampuan Tesia untuk beradaptasi, pada akhirnya membuat Tesia stres dan tertekan. Tesia pun tidak bisa membicarakannya dengan suaminya, karena suaminya tidak pernah merasa ada yang salah dengan karakter dan perilakunya.Â
Komunikasi Tesia dan suaminya kemudian menjadi sangat buruk. Mereka hanya berbicara seperlunya. Selebihnya mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Keberadaan mereka seperti dua orang asing namun berbagi atap.
Bertahun-tahun hidup bersama dan telah memiliki beberapa anak, bukan berarti mereka baik-baik saja. Sekalipun tinggal di bawah satu atap, mereka seolah hidup sendiri-sendiri.
Miris sekali membayangkannya. Hidup bersama orang yang semestinya menjadi orang terdekat, justru layaknya seperti orang asing. Bahkan hubungan pertemanan lebih baik daripada hubungan yang mereka berdua jalani.
Sebenarnya, pernikahan yang buruk seperti apapun tidak ada yang tidak bisa diperbaiki, selama pasangan tersebut mau berusaha memperbaikinya. Hanya memang membutuhkan waktu dan effort yang lebih. Namun tetap bisa diusahakan untuk dibenahi.
***
Tak selamanya jodoh yang diajukan orangtua adalah yang terbaik. Apalagi bila orangtua memiliki motivasi-motivasi khusus di balik perjodohan itu.
Oleh karena itu, mengingat proses perjodohan umumnya hanya melewati masa perkenalan yang singkat, bahkan banyak yang tanpa proses pendekatan dan pacaran, ada baiknya pihak yang menjodohkan dan yang dijodohkan lebih cermat di dalam prosesnya.
Antara lain, bagi orangtua yang hendak menjodohkan anaknya atau siapa saja yang hendak menjodohkan seseorang, ada baiknya mempertimbangkan karakter masing-masing dari pasangan yang akan dijodohkan. Apakah mungkin dua orang dengan karakter tertentu yang berbeda dipersatukan dalam biduk pernikahan.
Lalu, perhitungkan pula seberapa besar dan seberapa cepat kemungkinan mereka untuk mampu beradaptasi dan akhirnya saling menerima, mencintai dan melengkapi dalam pernikahan mereka kelak.Â