Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Pengalaman Kena "Ghosting" dan Cara Menyikapinya

1 Maret 2021   05:53 Diperbarui: 1 Maret 2021   22:01 3198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ghosting (Sumber: www.theguardian.com)

Membicarakan kisah percintaan antara lawan jenis, beserta warna-warni yang ada di dalamnya, memang tidak akan pernah ada habisnya.

Berbagai istilah lahir dari romantika hubungan kasih sayang ini. Salah satunya adalah ghosting.

Ghosting sendiri menurut Wikipedia adalah istilah sehari-hari yang digunakan untuk menggambarkan praktik penghentian semua komunikasi dan kontak dengan pasangan, teman, atau individu serupa tanpa peringatan atau pembenaran yang jelas, dan kemudian mengabaikan setiap upaya untuk menjangkau atau komunikasi yang dilakukan oleh pasangan, teman, atau individu tersebut.

Dalam hubungan percintaan, pelaku ghosting akan pergi setelah komunikasi intens atau beberapa kali pergi kencan atau ketika pasangannya sedang dalam komitmen hubungan.

Jadi, dalam kondisi ini, satu pihak berperan sebagai pelaku ghosting, sedang pihak lainnya sebagai korban yang kena ghosting.

Saya sendiri pernah mengalami hal serupa, dulu sekali, ketika dekat dengan seorang kakak kelas.

Menjalin hubungan beberapa waktu, hubungan kami memang lebih sering jarak jauh, alias LDR. Ini dikarenakan ketika itu, dia baru saja diwisuda. Sambil menunggu panggilan kerja, doi memenuhi tawaran teman-temannya untuk mengikuti berbagai proyek di luar Pulau Jawa.

Satu kali bepergian bisa untuk kurun waktu satu atau dua bulan. Alhasil kami hanya bertemu beberapa kali saja sepanjang kedekatan itu. Meski demikian, kami selalu berusaha untuk berkomunikasi sebisa mungkin.

Suatu ketika, saya tidak mendengar kabarnya lebih dari dua minggu. Saya pun tidak bisa menghubunginya, karena lokasi kerjanya berada di daerah yang minim jaringan komunikasi.

Karena si doi tak bisa dihubungi dan tak kunjung memberi kabar, rasa rindu yang semula menggunung, lama kelamaan berubah warna menjadi kesal.

Ketika akhirnya saya bisa menghubunginya, pertengkaran pun tak terhindarkan.

Saya langsung meluapkan kekesalan saya. Saya semakin bertambah kesal ketika mengetahui bahwa dia sudah tidak lagi berada di lokasi kerjanya. Saat saya telepon dia sudah berada di rumah orangtuanya.

Entah mungkin dia juga lagi bete dengan pekerjaannya, atau situasinya mungkin kurang pas, dia pun ikutan marah, dan tak lama kemudian langsung menutup telepon.

Saya yang kesal diperlakukan demikian, pun tidak mau menghubungi kembali. Bodo amat, pikir saya kala itu, hehehe...

Tidak disangka, ternyata itu adalah pembicaraan terakhir kami. Sejak itu dia tidak pernah menghubungi saya lagi, menghilang begitu saja. Saya pun tidak berusaha menghubunginya.

Mungkin ini yang disebut darah muda. Ego sama-sama di puncak gunung. Sama-sama keras kepala.

Padahal saat itu hubungan kami cukup serius. Sudah diketahui orangtua masing-masing. Saya sudah diperkenalkan kepada kedua orangtuanya. Dia pun sudah bertemu dengan ibu saya.

Di minggu pertama setelah pembicaraan telepon terakhir, saya masih masa bodoh meski tak ada komunikasi sama sekali. 

Masuk minggu kedua, saya mulai tergelitik untuk mencoba menghubunginya, tetapi gengsi setinggi langit. Berlanjut hingga minggu ketiga dan minggu keempat, keadaan tidak berubah.

Akhirnya menasuki bulan kedua, saya memutuskan untuk melupakannya.

Pertimbangan saya kala itu sangat sederhana. Ketika doi tidak berusaha untuk mencari saya atau menghubungi saya, berarti keberadaan saya tidak cukup berharga baginya. Sesimpel itu.

Bila pun saya paksakan, akan terjadi hubungan yang tidak sehat dan tak seimbang. Sekalipun rasa sayang saya padanya masih ada, logika tidak boleh ditanggalkan.

Oke, kekesalan saya pada pembicaraan terakhir itu tidak pada tempatnya, dan terkesan kurang peka pada situasi yang tengah dia hadapi. Tetapi harusnya kami bisa duduk bersama dan membicarakannya. Kalau pun sudah tidak lagi merasa nyaman dengan hubungan kami, katakan saja, akhiri secara gentleman dan baik-baik. Bukan malah menghilang begitu saja.

Saya tidak pernah tahu dan tidak pernah mau tahu apa sebab doi menghilang begitu saja. Apakah karena pertengkaran itu, atau karena hal lain.

Dalam kondisi ini, bisa dikatakan saya menjadi korban ghsoting, karena dia yang menutup telepon lebih dahulu, lalu menghilang tanpa kabar.

***

Hal itu kini hanya menjadi cerita usang. Saya dan mantan kini berteman di Facebook. Hanya sekadar berteman.

Karena ketika mantan ingin meningkatkan intensitas komunikasi dengan bertukar nomor telepon, saya menolak. Tidak ada urgensinya bertukar nomor telepon. Saya sudah berkomitmen untuk menjaga hati saya hanya untuk suami tercinta.

Berkaca dari pengalaman tersebut, saya merekomendasikan beberapa hal yang sebaiknya dilakukan bila pembaca mengalami kejadian serupa, menjadi korban ghosting pasangan.

1. Melupakan dia
Ini yang saya lakukan ketika itu. Memasuki bulan kedua setelah tak ada lagi komunikasi, saya memutuskan untuk berhenti mengharapkan doi menghubungi saya. Saya pun memutuskan untuk melupakannya. Apakah sulit? Nope.

Ternyata bila sudah memiliki tekad kuat, mudah sekali melupakan mantan. Tanamkan saja di pikiran dan hati : pergi satu, datang sepuluh, hehehe...

Boleh saja seandainya mau mencoba mencari tahu keberadaan mantan atau mencoba menghubunginya. Tetapi jangan berlama-lama dalam keadaan tersebut. Tentukan batas waktunya. Bila hingga tenggat waktu yang kita tentukan, mantan tetap tidak bisa dihubungi, di titik itu kita harus berhenti mengingat dan mengharapkannya. 

Beri juga batas toleran pada tindakannya. Seandainya si doi akhirnya bisa dihubungi, namun sikapnya tidak menunjukkan itikad kuat untuk menjalin hubungan kembali, jangan paksakan. Jangan menaruh penghargaan atau perasaan lebih pada orang yang tidak menghargai perasaan kita.

Lupakan saja. Kembali fokus pada apa yang sedang kita kejar saat itu. Lalu mulai membuka hati untuk hubungan yang baru.

2. Ini bukan tentang kita, tetapi tentang dia
Lepas dari apapun alasannya, menghilang begitu saja dari suatu hubungan percintaan bukanlah tindakan benar.

Orang yang menghilang begitu saja dan mengabaikan sebuah hubungan, mungkin bisa dikategorikan sebagai seorang penakut atau pengecut.

Seorang pengecut tidak berani duduk berhadapan, membicarakan dan menyelesaikan masalah secara terbuka.

Seorang pelaku ghosting bisa juga disebut sebagai seorang yang kurang bertanggung jawab, kekanak-kanakan, dan tidak dewasa.

Bila sudah berani memulai sebuah hubungan, seorang dewasa sebaiknya berani dan siap menerima serta menjalani segala resikonya. Termasuk risiko menghadapi dan menerima kenyataan bahwa pasangan kita tidak sempurna, sama seperti kita, punya kelebihan dan kekurangan.

Selain itu, penting disadari pula bahwa sebuah hubungan tidak akan selalu berjalan mulus. Pada waktu-waktu tertentu, sebuah hubungan bisa saja mengalami riak-riak maupun badai. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap dewasa untuk menjalaninya.

Tentu kita tidak ingin mempercayakan hati, perasaan, bahkan hidup kita pada seorang pengecut dan kekanak-kanakan.

3. Dia bukan jodoh
Bila ternyata hubungan kita dengan doi sulit untuk dilanjutkan karena keberadaannya yang tidak diketahui, tanamkan kembali dalam hati dan pikiran, bahwa mungkin dia bukan jodoh kita.

Kalau jodoh, suatu saat pasti dipertemukan kembali. Bila pun tidak, kita pasti akan dipertemukan dengan orang yang jauh lebih baik dari dia.

Mungkin hal ini sulit dipahami ketika sedang berada dalam situasi tersebut. Namun rasa syukur itu akan muncul jauh setelah itu.

Ini yang saya rasakan. Saya bersyukur saya di-ghosting mantan kala itu. Karena kemudian Tuhan mempertemukan saya dengan "anugerah terindah" yang kini menjadi suami saya.

4. Introspeksi diri
Hal ini sebaiknya dilakukan setelah kena ghosting. Tidak perlu juga berlama-lama menyalahkan mantan. Lebih baik melihat ke dalam diri sendiri. Mungkin saja ada perilaku kita selama dalam hubungan itu yang kurang berkenan dan menyakiti pasangan.

Dari kejadian tersebut, kita juga bisa mempelajari hal-hal apa saja yang berpotensi mempertahankan atau malah menghancurkan sebuah hubungan

Bukan untuk menyalahkan diri sendiri. Namun sebagai ajang introspeksi dan memperbaiki diri. Ini berguna agar selanjutnya kita bisa menjadi pribadi yang lebih bijaksana. Sehingga pada hubungan-hubungan berikutnya, hal-hal yang berpotensi menghancurkan hubungan bisa dihindari.

Selain itu, pengalaman di-ghosting pun bisa dijadikan sebagai pengingat bagi kita untuk lebih berhati-hati sebelum menaruh perasaan cinta pada seseorang. Telisik lebih jauh karakter dan perilakunya, agar kita tidak menderita sakit hati lagi di kemudian hari.

***

Salam
Martha Weda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun