Saya langsung meluapkan kekesalan saya. Saya semakin bertambah kesal ketika mengetahui bahwa dia sudah tidak lagi berada di lokasi kerjanya. Saat saya telepon dia sudah berada di rumah orangtuanya.
Entah mungkin dia juga lagi bete dengan pekerjaannya, atau situasinya mungkin kurang pas, dia pun ikutan marah, dan tak lama kemudian langsung menutup telepon.
Saya yang kesal diperlakukan demikian, pun tidak mau menghubungi kembali. Bodo amat, pikir saya kala itu, hehehe...
Tidak disangka, ternyata itu adalah pembicaraan terakhir kami. Sejak itu dia tidak pernah menghubungi saya lagi, menghilang begitu saja. Saya pun tidak berusaha menghubunginya.
Mungkin ini yang disebut darah muda. Ego sama-sama di puncak gunung. Sama-sama keras kepala.
Padahal saat itu hubungan kami cukup serius. Sudah diketahui orangtua masing-masing. Saya sudah diperkenalkan kepada kedua orangtuanya. Dia pun sudah bertemu dengan ibu saya.
Di minggu pertama setelah pembicaraan telepon terakhir, saya masih masa bodoh meski tak ada komunikasi sama sekali.Â
Masuk minggu kedua, saya mulai tergelitik untuk mencoba menghubunginya, tetapi gengsi setinggi langit. Berlanjut hingga minggu ketiga dan minggu keempat, keadaan tidak berubah.
Akhirnya menasuki bulan kedua, saya memutuskan untuk melupakannya.
Pertimbangan saya kala itu sangat sederhana. Ketika doi tidak berusaha untuk mencari saya atau menghubungi saya, berarti keberadaan saya tidak cukup berharga baginya. Sesimpel itu.
Bila pun saya paksakan, akan terjadi hubungan yang tidak sehat dan tak seimbang. Sekalipun rasa sayang saya padanya masih ada, logika tidak boleh ditanggalkan.