Beberapa tahun yang lalu, ketika anak saya duduk di bangku Taman Kanak-kanak, saya hampir tak pernah pulang lagi setelah mengantarkannya ke sekolah. Saya selalu menunggu di sekolah hingga bel sekolah tanda jam belajar usai.
Ini saya lakukan karena selain jam belajar belajar di TK yang singkat, entah kenapa anak saya tidak mau ditinggal.
Bahkan dua minggu pertama saya harus berdiri di depan pintu kelasnya, agar saya selalu terlihat olehnya. Sekali saja saya tak terlihat, dia akan langsung panik dan menangis.
Setelah dua minggu, saya mulai bisa menjauh dari kelas, dan duduk menunggu di serambi gereja yang ada di samping TK tersebut.
Ternyata kegiatan menunggu tidak hanya saya lakukan sendiri. Sebagian ibu-ibu terutama yang tidak bekerja, pun ikut menunggu di sekolah. Alasannya, umumnya lebih karena waktu yang terlalu tanggung bila pulang, sementara jam belajar tidak lama.
Di samping itu, letak rumah dan sekolah siswa juga banyak yang jauh. Kalaupun dekat, bagi yang menggunakan angkutan umum (saat itu belum ada ojek online), boros di ongkos bila harus bolak-balik ke sekolah.
Akhirnya, tanpa disadari, kami tak ubahnya serupa komunitas ibu-ibu penunggu anak.Â
Karena bertemu hampir setiap hari, akhirnya tercetuslah ide untuk menggelar arisan bersama. Tidak penting jumlah uangnya, namun lebih untuk kebersamaan. Kami sepakat dengan nilai uang hanya 25 ribu per orang per minggu, dan dikocok setiap minggu, serta diperkirakan selesai untuk satu tahun ajaran sekolah.
Hampir seluruh ibu-ibu yang anaknya sekolah di TK tersebut ikut arisan ini, termasuk ibu-ibu yang bekerja dan jarang menunggu anaknya di sekolah.Â
Pada hari-hari kocok arisan, umumnya ibu-ibu yang jarang ke sekolah, akan khusus mengantarkan uang arisan. Kalaupun tidak sempat ke sekolah, mereka akan mentransfer atau menitipkan melalui anaknya.
Jumlah yang diterima tidak banyak, hanya sekitar 1 jutaan. Inipun bukan karena ibu-ibunya yang banyak, tetapi karena ada beberapa ibu-ibu yang bermain lebih dari satu, dua bahkan tiga untuk satu nama.
Kebetulan, saat anak saya di TK B, saya diminta untuk menjadi koordinator arisan. Tugasnya menerima setoran, mencatat, memegang uang arisan, dan bertanggungjawab memnberikan kepada yang namanya tertera saat hasil kocokan keluar.
Semula, saya mengira, jadi koordinator arisan itu mudah. Hanya tinggal terima uang setoran, kumpul, hitung, kocok, dan beri pada yang berhak.
Ternyata, eh, ternyata, tidak semudah itu, Rudolfo!. Jadi koordinator arisan itu berat. Banyak cobaannya. Nggak percaya? Mari saya jabarkan satu persatu.
1. Harus bertindak seperti tukang kredit
Yang ada di kepala kita selama ini, yang namanya tukang kredit adalah orang yang memberikan kredit atau hutang kepada orang lain, lalu wajib menagih bayaran hutangnya sesuai waktu dalam perjanjian yang telah disepakati.Â
Nah, ini saya yang tidak bisa. Berlaku seperti tukang kredit.
Saya paling tidak bisa nagih-nagih uang ke orang lain. Makanya enak yang punya hutang sama saya, nggak akan saya tagih, kecuali kepepet, wkwkwk...
Eh, beneran ini. Sungkan sekali rasanya harus datang ke orang yang bersangkutan, atau telpon, atau kirim pesan, meminta uang arisan. Bahkan sekedar mengingatkan pun saya sungkan.
Saya maunya, ya kesadaran sendiri ajahh. Waktunya arisan, ya langsung setor saja tanpa harus diminta terlebih dahulu. Kalaupun, di hari tersebut tidak bisa, berilah beberapa hari sebelumnya. Lagipula uang arisan itu tidak perlu repot-repot diantar ke rumah saya, tinggal cari saya di sekolah.
Karena kesungkanan saya ini, akhirnya kerap kali uang belum terkumpul penuh ketika harinya akan dikocok. Saya pun enggan menagih. Saya biarkan saja. Beberapa rekan ibu-ibu yang gemes, terkadang membantu saya untuk menagih.
Untungnya, ada perjanjian di awal, bagi yang belum setor, sekalipun namanya keluar saat dikocok, akan dianggap hangus. Uang arisan hanya diberikan kepada yang sudah setor.
2. Harus siap sebagai penalang
Karena seringnya uang tidak terkumpul penuh di hari H, saya pun lebih sering bertindak sebagai penalang. Menalangi terlebih dahulu uang-uang arisan yang belum terkumpul.
Jadi, yang berhak terima tetap terima penuh. Kekurangan dari yang belum setor, saya tutupi dulu. Hal ini menyebabkan saya harus selalu sedia uang lebih.
Untung saja jumlahnya masih terjangkau. Kalau nilai setoran arisannya besar, sampai ratusan ribu atau jutaan, bisa berabe. Apa kabar uang belanja?
3. Ada saja yang seret setor
Kejadian ini benar terjadi. Ada saja yang menunggak hingga seminggu dua minggu. Berkali-kali terjadi.
Bahkan di dua bulan sebelum berakhir, ada seorang ibu yang sedang bermasalah dengan suaminya, benar-benar mengalami kesulitan keuangan, tak lagi mampu membayar sisa setoran arisan yang tinggal beberapa kali.
Syukurnya, nama si ibu ini belum pernah keluar dalam setiap kocokan, alias belum dapat arisan. Solusinya, saya yang menalangi jatah setorannya, dan si ibu ini mendapat jatah arisan paling buncit, atau yang terakhir dapat. Itupun tidak penuh lagi, karena saya potong dengan jumlah uang yang sudah saya talang sebelumnya.
Berbekal pengalaman-pengalaman tersebut di atas, dengan segala cobaan yang saya hadapi, hehehe...., saya tidak pernah lagi mau berperan sebagai koordinator arisan.
Jadi peserta arisan, hayuk atuh. Tapi jadi koordinator, makasih...
Di sekolah anak saya yang kini duduk di bangku Sekolah Dasar, tidak terhitung berbagai grup arisan bertebaran di sana. Mulai dari yang nilai setorannya hanya puluhan ribu hingga jutaan rupiah, tersedia.Â
Berkali-kali saya diminta untuk menjadi koordinator arisan, saya tolak. Beberapa ibu yang saya kenal sejak anak saya TK, dan kini anaknya satu sekolah dengan anak saya, bahkan membujuk-bujuk saya, namun saya tetap tidak mau.
Kalau di TK dulu, masih mudah mengoordinasikannya, karena ruang lingkupnya kecil. Lha, kalau SD, muridnya saja lebih dari 600 siswa!
Meskipn grup arisan umumnya beranggotakan paling banyak puluhan peserta, tetap saja akan lebih repot mengoordinasikannya.Â
Di samping segala tantangan dan kerepotan yang dialami, ada kelebihan dan keuntungan yang didapat sebagai koordinator arisan.
Yang utama, sekalipun koordinator arisan memang tidak mendapat bayaran, alias kerja sukarela, koordinator arisan akan sering mendapat tip dari setiap penerima arisan.
Jumlahnya pun bervariasi, bergantung dari nilai setoran per orang. Semakin tinggi nilai setoran, akan semakin besar tipnya.
Hal ini memang tidak diwajibkan, tetapi penerima arisan umumnya tidak enak hati bila tidak memberi tip.
Menilik dari banyaknya kasus perihal koordinator arisan yang berbuat nakal, dengan membawa kabur uang arisan, hal ini bisa saja terjadi.
Pasti ada saja orang yang akhirnya tergoda dengan uang yang dipercayakan padanya. Apalagi jika jumlahnya besar.
Kejadian serupa inipun pernah terjadi di salah satu grup arisan ibu-ibu siswa di sekolah anak saya. Di artikel berikutnya saya akan mencoba menguraikannya.
So, ada yang tertarik menjadi koordinator arisan?
***
Salam
Martha Weda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H