Kebetulan, saat anak saya di TK B, saya diminta untuk menjadi koordinator arisan. Tugasnya menerima setoran, mencatat, memegang uang arisan, dan bertanggungjawab memnberikan kepada yang namanya tertera saat hasil kocokan keluar.
Semula, saya mengira, jadi koordinator arisan itu mudah. Hanya tinggal terima uang setoran, kumpul, hitung, kocok, dan beri pada yang berhak.
Ternyata, eh, ternyata, tidak semudah itu, Rudolfo!. Jadi koordinator arisan itu berat. Banyak cobaannya. Nggak percaya? Mari saya jabarkan satu persatu.
1. Harus bertindak seperti tukang kredit
Yang ada di kepala kita selama ini, yang namanya tukang kredit adalah orang yang memberikan kredit atau hutang kepada orang lain, lalu wajib menagih bayaran hutangnya sesuai waktu dalam perjanjian yang telah disepakati.Â
Nah, ini saya yang tidak bisa. Berlaku seperti tukang kredit.
Saya paling tidak bisa nagih-nagih uang ke orang lain. Makanya enak yang punya hutang sama saya, nggak akan saya tagih, kecuali kepepet, wkwkwk...
Eh, beneran ini. Sungkan sekali rasanya harus datang ke orang yang bersangkutan, atau telpon, atau kirim pesan, meminta uang arisan. Bahkan sekedar mengingatkan pun saya sungkan.
Saya maunya, ya kesadaran sendiri ajahh. Waktunya arisan, ya langsung setor saja tanpa harus diminta terlebih dahulu. Kalaupun, di hari tersebut tidak bisa, berilah beberapa hari sebelumnya. Lagipula uang arisan itu tidak perlu repot-repot diantar ke rumah saya, tinggal cari saya di sekolah.
Karena kesungkanan saya ini, akhirnya kerap kali uang belum terkumpul penuh ketika harinya akan dikocok. Saya pun enggan menagih. Saya biarkan saja. Beberapa rekan ibu-ibu yang gemes, terkadang membantu saya untuk menagih.
Untungnya, ada perjanjian di awal, bagi yang belum setor, sekalipun namanya keluar saat dikocok, akan dianggap hangus. Uang arisan hanya diberikan kepada yang sudah setor.