Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menapaki Jejak-jejak Guru yang Tak Terlupakan

25 November 2020   17:27 Diperbarui: 25 November 2020   17:28 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam rangka memperingati dan memeriahkan Hari Guru Nasional yang jatuh bertepatan pada hari ini 25 November, bolehlah saya bernostalgia sebentar, kembali ke masa lalu, mengenang berbagai guru yang telah berjasa membawa saya memiliki pendidikan dan pengetahuan yang berlimpah, dan sukses membimbing saya melalui tahap demi tahap pendidikan.

Sewaktu saya SD, banyak sosok guru yang menarki dan tak terlupakan. Ingatan akan mereka sangat lekat hingga hari ini. Mungkin karena masa-masa itu adalah masa awal bersekolah. 

Namun yang paling berkesan dari semuanya adalah seorang guru agama, namanya Ibu Mariani. Kenangan terhadap beliau selalu melekat, karena Ibu guru yang satu ini sering memberi perhatian lebih pada saya. Bila sedang antre mengambil kartu peminjaman buku di perpustakaan, dan bila Ibu Mariani kebetulan berada di sana, beliau akan meminta guru petugas perpustakaan untuk mencari kartu atas nama saya terlebih dahulu baru mencari kartu nama atas nama siswa lainnya. Saya ingat waktu itu saya baru duduk di kelas 3 SD. 

Saat jam sekolah berakhir, Ibu Mariani juga sering mengingatkan saya untuk selalu berjalan di pinggir saat keluar menyusuri jalan menuju pintu gerbang sekolah. Entah mengapa beliau sangat perhatian pada saya.

Selain itu ada pula guru yang saya takuti, dan ditakuti kebanyakan siswa. Namanya Pak Arifin, guru kesenian. Bila dia sedang mengajar notasi lagu, jangan coba-coba tidak memperhatikan. Fatal akibatnya bila tidak bisa saat disuruh menyayikan lagu dengan cara membaca not. Siap-siap saja mendapat pukulan menggunakan penggaris panjang.

Ketika SMP, guru yang paling saya sukai dan paling berkesan hingga sekarang adalah guru Bahasa Indonesia, namanya Pak Suwardi. Beliau guru paling sabar yang pernah saya temui. Tidak pernah saya melihatnya marah atau menahan emosi. Pembawaannya selalu tenang.

Beliau yang memperkenalkan kami murid-muridnya pada karya sastra. Beliau juga rajin mengajak kami untuk membuat sinopsis dari setiap satu buku sastra yang kami baca. Beberapa karya sastra yang beliau perkenalkan kepada kami antara lain Siti Nurbaya, layar Terkembang, Azab dan Sengsara, dan beberapa buku karya NH Dini.

Buku-buku tersebut semuanya tersedia di perpustakaan sekolah, Sehingga ketika diberi tugas, kami hanya tinggal datang dan meminjamnya dari perpustakaan.

Beliau juga sangat mahir mengajarkan kaidah-kaidah dalam penulisan atau lisan dalam Bahasa Indonesia. Banyak teori -teori yang beliau ajarkan membekas di ingatan hingga hari ini. Seingat saya, kami tidak punya buku panduan. Materi ajar murni berasal dari beliau namun sangat menarik. Kami hanya belajar bermodalkan catatan yang beliau berikan. Akan tetapi saya merasa ilmu yang beliau berikan lebih dari cukup sekalipun tanpa buku panduan. Bahkan kualitas materi yang beliau ajarkan masih jauh lebih baik daripada materi ajar Bahasa Indonesia yang saya terima saat saya duduk di bangku SMA.

Pak Suwardi sangat berpengaruh dalam menggiring para siswanya mencintai dunia literasi.

Selain itu ada seorang guru yang juga menarik perhatian saya, namanya Ibu Christin, seorang guru Sejarah. Wajah beliau selalu terlihat sendu dan memancarkan kesedihan yang entah apa. Bila kami sedang mengerjakan tugas yang beliau berikan, sering saya perhatikan beliau berdiri di sisi jendela, memandang keluar dengan tatapan kosong. Sesekali saya melihat beliau menyeka cairan bening di sudut matanya. Entah apa masalah yang beliau pikirkan.

***

Saat duduk di bangku SMA, saya pertama kalinya merasakan menjadi anak baru. Itu terjadi saat baru duduk di kelas dua, karena mengikuti orangtua yang dipindahtugaskan ke kota lain, saya pun harus pindah sekolah. 

Sempat bersekolah di dua sekolah dalam waktu tiga tahun membuat saya bisa menilai dan membandingkan pola ajar dari guru-guru yang mengajar di kedua sekolah tersebut.

Beberapa guru di sekolah baru ini "senang" sekali mengajar dengan cara membacakan ulang isi materi dalam buku pelajaran saat mengajar. Hanya dibumbui sedikit kata-kata agar terkesan sedikit berbeda dengan teks aslinya. Seperti parafrase bila dalam tulisan. Dan kegiatan itu mereka lakukan sambil duduk di depan kelas dari awal sampai akhir jam pelajaran. Tidak ada tambahan ilmu yang mereka sampaikan di luar dari buku materi tersebut. Sangat membosankan bagi saya, dan juga mengesalkan. Saya merasa tambahan ilmu saya tidak berkembang dengan cara mengajar guru yang seperti itu. 

Di sekolah itu juga selama hampir dua tahun di kelas dua dan kelas tiga, kami tidak memiliki guru fisika. Bahkan saat di kelas tiga kami hampir tidak pernah didatangi guru fisika. Padahal kelas tiga adalah tingkat krusial karena kami harus mempersiapkan ujian nasional.

Di sekolah itu sebenarnya ada satu guru fisika, tapi entah mengapa beliau hanya mengajar di kelas fisika. Sedangkan saya dan teman-teman di kelas Biologi diabaikan begitu saja.

Bisa dibayangkan, untuk satu pelajaran yang cukup sulit menurut saya, tanpa guru, dan siswa dibiarkan belajar sendiri, alhasil saat pengumuman hasil ujian nasional diumumkan, rata -rata nilai fisika di kelas kami di bawah 6, termasuk saya, Hahaha...

Tapi untunglah, saat pengumuman itu, saya sudah resmi terdaftar sebagai mahasiswa baru di Institut negeri di kota Bogor yang diterima melalui jalur undangan.

***

Ketika kuliah, hanya satu dosen yang sangat saya ingat dan cukup berkesan di hati saya. Beliau adalah dosen muda kala itu, yang mengampu mata kuliah Biologi Dasar untuk mahasiswa di semester 1 dan 2, atau disebut Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Pada masa TPB, mahasiswa belum masuk dalam penjurusan.

Mungkin usia beliau tidak lebih dari 30 tahun saat itu. Setiap kali memberi kuliah, beliau selalu tampil dengan gaya casual, kemeja lengan pendek dan celana jeans. Diam-diam saya sering memperhatikan beliau, uhuuy....

Satu kali saat sedang memberikan kuliah, beliau menyuruh dua mahasiswa maju ke depan untuk mengerjakan soal yang dia berikan. Karena jumlah mahasiswa pada tingkat TPB dalam satu kelas cukup banyak, hampir 150 mahasiswa, beliau tidak mengenal kami satu persatu. Beliau hanya melihat ke arah kami sebentar, lalu menunjuk satu mahasiswa dan satu mahasiswi. Dan mahasiswi yang ditunjuk itu adalah saya.

Betapa gugupnya saya saat itu. Saya sudah lupa apa pertanyaan yang beliau berikan, tapi seingat saya, saya mampu mengerjakan soal yang beliau berikan di papan tulis walaupun sedikit diperbaiki oleh beliau. 

Walaupun saat itu saya sedikit gugup, namun dalam hati saya senang bukan kepalang. Lantaran hanya saya satu-satunya mahasiswi yang pernah diminta mengerjakan tugas darinya selama beliau mengampu di kelas kami. Ge er nya saya, hahaha...

***

Tantangan guru di masa kini memang tidak ringan. Guru dituntut untuk segera melek teknologi. Apalagi dalam situasi pembelajaran jarak jauh seperti saat ini, guru dipaksa untuk cepat beradaptasi dengan metode pembelajaran yang serba digital.

Namun bila melihat sisi positifnya, situasi ini membawa dampak yang sangat baik bagi para guru. Guru menjadi lebih giat dan aktif mencari solusi terbaik guna lancar dan berhasilnya metode PJJ yang sedang berlangsung. Guru pun ditempa untuk memiliki mental pejuang, tangguh dan pantang menyerah. Secara tidak disadari pula, pandemi ini telah merangsang guru untuk mengembangkan budaya inovasi dan kreativitas, yang tentunya menjadi teladan dan motivasi yang baik bagi para peserta didik.

Benar seperti apa yang disampaikan Mendikbud Nadiem Makarim dalam sambutan pada upacara Hari Guru Nasional dari Gedung Kemendikbud yang disiarkan secara daring, Rabu (25/11/2020), "Pandemi telah memberikan kita momentum dan pelajaran berharga untuk mengakselerasi penataan ulang sistem pendidikan untuk melakukan lompatan dalam menghasilkan sumber daya manusia (SDM) unggul untuk Indonesia maju." (Kompas.com)

Besar harapan saya, pemerintah juga menaruh perhatian lebih pada guru-guru honorer dan guru-guru yang bertugas di wilayah-wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), baik dari sisi kesejahteraan guru maupun dari sisi infrastruktur penunjang pendidikan. Sehingga tidak ada lagi.kesenjanganp pendidikan dan kesenjangan kesejahteraan guru antara daerah satu dan daerah lainnya.

Selamat Hari Guru Nasional.

Salam takzim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun