***
Saat duduk di bangku SMA, saya pertama kalinya merasakan menjadi anak baru. Itu terjadi saat baru duduk di kelas dua, karena mengikuti orangtua yang dipindahtugaskan ke kota lain, saya pun harus pindah sekolah.Â
Sempat bersekolah di dua sekolah dalam waktu tiga tahun membuat saya bisa menilai dan membandingkan pola ajar dari guru-guru yang mengajar di kedua sekolah tersebut.
Beberapa guru di sekolah baru ini "senang" sekali mengajar dengan cara membacakan ulang isi materi dalam buku pelajaran saat mengajar. Hanya dibumbui sedikit kata-kata agar terkesan sedikit berbeda dengan teks aslinya. Seperti parafrase bila dalam tulisan. Dan kegiatan itu mereka lakukan sambil duduk di depan kelas dari awal sampai akhir jam pelajaran. Tidak ada tambahan ilmu yang mereka sampaikan di luar dari buku materi tersebut. Sangat membosankan bagi saya, dan juga mengesalkan. Saya merasa tambahan ilmu saya tidak berkembang dengan cara mengajar guru yang seperti itu.Â
Di sekolah itu juga selama hampir dua tahun di kelas dua dan kelas tiga, kami tidak memiliki guru fisika. Bahkan saat di kelas tiga kami hampir tidak pernah didatangi guru fisika. Padahal kelas tiga adalah tingkat krusial karena kami harus mempersiapkan ujian nasional.
Di sekolah itu sebenarnya ada satu guru fisika, tapi entah mengapa beliau hanya mengajar di kelas fisika. Sedangkan saya dan teman-teman di kelas Biologi diabaikan begitu saja.
Bisa dibayangkan, untuk satu pelajaran yang cukup sulit menurut saya, tanpa guru, dan siswa dibiarkan belajar sendiri, alhasil saat pengumuman hasil ujian nasional diumumkan, rata -rata nilai fisika di kelas kami di bawah 6, termasuk saya, Hahaha...
Tapi untunglah, saat pengumuman itu, saya sudah resmi terdaftar sebagai mahasiswa baru di Institut negeri di kota Bogor yang diterima melalui jalur undangan.
***
Ketika kuliah, hanya satu dosen yang sangat saya ingat dan cukup berkesan di hati saya. Beliau adalah dosen muda kala itu, yang mengampu mata kuliah Biologi Dasar untuk mahasiswa di semester 1 dan 2, atau disebut Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Pada masa TPB, mahasiswa belum masuk dalam penjurusan.
Mungkin usia beliau tidak lebih dari 30 tahun saat itu. Setiap kali memberi kuliah, beliau selalu tampil dengan gaya casual, kemeja lengan pendek dan celana jeans. Diam-diam saya sering memperhatikan beliau, uhuuy....