Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Suami Kena PHK, Saya Hanya Ibu Rumah Tangga dan Punya Bayi Usia 18 Bulan

14 Oktober 2020   17:49 Diperbarui: 16 Oktober 2020   05:28 4767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suami di PHK (Sumber : Pexels.com/Andrea Piacquadio)

Semenjak pandemi Covid-19 menyambangi negeri ini di awal Bulan Maret yang lalu, satu-persatu bidang usaha penunjang perekonomian anak bangsa bertumbangan.

Keterpurukan ini tak pelak menjadikan banyak pekerja mengalami pemotongan gaji, dirumahkan sementara, bahkan sampai diberhentikan dengan terpaksa, lantaran perusahaan megap-megap mempertahankan roda usaha tetap berputar.

Melihat fenomena yang menyedihkan ini, saya jadi teringat kejadian sama yang pernah saya dan suami alami lebih dari sepuluh tahun yang lalu.

Ketika itu, anak saya belum genap berusia dua tahun. Saya sendiri baru beberapa bulan mengundurkan diri dari kantor karena berniat untuk fokus berkarir sebagai ibu rumah tangga.

Suami yang kala itu bekerja sebagai tenaga pemasaran di sebuah perusahaan jasa keuangan, harus menerima kenyataan diberhentikan dari perusahaan.

Alasan pemberhentian tak lain karena suami dinyatakan tak mampu memenuhi target penjualan selama dua bulan berturut-turut. Jadi memang perusahaan ini menerapkan aturan ketat, di mana tidak ada ampun bagi karyawan yang tak mampu memenuhi angka yang ditentukan perusahaan.

Bila di perusahaan lain dengan bidang usaha sama, jangka waktu penilaian performance umumnya tiga bulan, maka di perusahaan ini hanya dua bulan. Namun memang saat itu, produk keuangan dari perusahaan jasa ini baru diluncurkan dan sedang "naik daun". Oleh karena itu mereka tak segan menetapkan target penjualan yang tinggi.

Pencapaian suami juga sebenarnya cukup baik, di angka sekitar 90 persen dari target. Hanya saja angka pencapaian suami jauh di bawah rekan-rekannya yang bahkan bisa mencapai angka 200 persen. Alhasil performance suami tetap dianggap jelek. Bersama suami kala itu, ada 2 rekannya yang juga diberhentikan.

Semula saya masih optimis saat mendengar cerita suami tentang kegagalannya dalam mencapai target. Saya berharap masih ada dispensai karena angkanya masih cukup baik. Ternyata apa yang saya pikirkan tidak terwujud. Aturan tetaplah aturan. Suami pun resmi diberhentikan.

Di hari terakhirnya bekerja di sana, sebelum berangkat ke kantor, suami memeluk saya erat, sambil berkata, "Maafin Papa ya Ma...,"

Duh, saat itu saya tidak bisa melukiskan perasaan saya. Hancur hati ini melihat suami merendahkan diri, mengakui, dan meminta maaf atas kegagalannya.

Namun saya berusaha tegar dan tetap tersenyum. Saya berusaha untuk kuat. Saya tahu, suami saat itu secara psikis sedang terpuruk. Untuk itu saya yang harus kuat dan tegar, agar suami menjadi kuat dan tegar pula.

Saya mencoba menghiburnya dengan mengatakan bahwa ini bukan salahnya. Toh, suami sudah berjuang dan memberikan yang terbaik.

Sempat beberapa tahun bekerja di satu kantor yang sama dengan suami, membuat saya sangat paham etos kerjanya. Suami selalu serius dalam bekerja, disiplin, tidak pernah main-main, apalagi malas-malasan. Jadi bila kali ini suami gagal, saya tahu ini di luar kendalinya. 

Dan entah kenapa, setelah hari terakhir suami bekerja di sana, saya tidak terlalu khawatir lagi. Saya seperti memiliki keyakinan bahwa kami akan baik-baik saja. Bahwa masa sulit ini tidak akan lama. Suami pasti akan segera nmendapat pekerjaan yang baru, dan kehidupan kami segera membaik. Seperti ada kekuatan tak terbatas, yang di luar nalar, yang selalu mengingatkan saya akan hal ini.

Setelah hari itu, saya dan suami pun banyak berdiskusi, akan bagaimana selanjutnya. Perusahaan mana yang akan dituju. Apa yang harus kami lakukan untuk menekan pengeluaran agar tabungan kami cukup untuk hidup selama beberapa bulan ke depan. Bagaimana agar anak kami yang baru berusia 18 bulan tetap minum susu dan tetap memperoleh asupan gizi yang cukup. Semua itu kami bicarakan bersama.

Jadi sekalipun nakhoda rumah tangga ini adalah suami, saya tak pernah membiarkannya sendiri di ruang kemudi. Saya terus mendampinginya. Kami berdua bergandengan tangan dan berbagi beban menghadapi badai kehidupan ini.

Dua minggu setelahnya, kegiatan suami diisi dengan mengirim beberapa lamaran ke beberapa perusahaan. 

Syukurlah, tak sampai satu bulan tanpa pekerjaan, suami mendapatkan panggilan kerja, dari dua perusahaan sekaligus.

Suami menjalani tes peenerimaan di kedua perusahaan tersebut dan berhasil melewati keduanya. Akan tetapi tentu kami harus memilih salah satu saja.

Dua perusahaan ini termasuk perusahaan yang cukup baik di bidangnya. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya diputuskan untuk memilih satu di antaranya.

Kebetulan perusahaan yang dipilih ini adalah kantor terakhir saya bekerja sebelum akhirnya memutuskan berhenti. Selama dua tahun bekerja di sana, saya cukup paham kinerja perusahaan yang baik dan berorientasi menyejahterakan karyawan. Dan akhirnya suami pun kembali bekerja di perusahaan yang baru.

Kendati demikian, kehidupan kami tak langsung sekonyong-konyong membaik. Suami masih harus melewati masa training selama dua minggu dan masa percobaan tiga bulan. Penghasilan pun turun drastis. Harus meniti dari bawah lagi.

Dalam kondisi sulit itu, saya sangat ketat mengatur pengeluaran. Yang saya utamakan adalah susu untuk anak saya dan asupan gizinya tidak boleh kurang.

Sedangkan makanan sehari-hari untuk saya dan suami saya pilih bahan-bahan pangan yang murah namun tetap memiliki gizi seimbang.

Suami pun selalu bawa bekal dari rumah dengan lauk yang sangat sederhana. Saking sederhananya, terkadang dia malu untuk makan siang di pantry. Dia lebih sering pergi ke tangga darurat untuk makan siang sendirian di sana. Kebetulan situasi di tangga darurat sangat sepi dan tidak ada karyawan yang lalu lalang di sana. Dan yang pasti tidak akan ada yang melihat bekal makan siangnya.

*****

Saya sangat percaya, badai sedahsyat apapun pasti berlalu. Dan akhirnya badai itupun benar-benar berlalu dari biduk rumah tangga kami.

Perlahan suami mampu meniti karir di perusahaan yang baru. Mulai ditempatkan di tim dengan tingkat kesulitan penjualan yang tinggi, lalu dipindahkan ke tim yang berisi tenaga-tenaga pemasaran yang hebat dengan persaingan yang ketat.

Kemudian dipercaya untuk memimpin tim off-site. Mulai dari tim kecil yang lokasi kantornya sangat jauh dari tempat tinggal kami. Lalu dipercaya untuk memimpim tim off-site yang lebih besar dan berlokasi di daerah Fatmawati yang posisinya hanya 6 km dari rumah.

Hingga kini, ia dipercaya untuk memimpin tim off-site yang lebih besar lagi dengan tanggung jawab yang tentu lebih besar, dan berlokasi di kawasan Matraman. 

Kini, tidak terasa, lebih dari 10 tahun sudah suami berkarir di sana. Sebuah perjalanan panjang yang tidak mudah namun bisa dilewati.

Banyak hal yang menjadi pelajaran bagi saya dan suami setelah mengalami kejadian ini. 

Jangan mengeluh, selalu bersyukur

Tatkala mengalami badai kehidupan, jangan pernah mengeluh, apalagi bersungut-sungut. Selalu bersyukur atas sekecil apapun rahmat dari Sang Pencipta.

Kita tidak pernah tahu apa rencana Tuhan di balik badai itu. Mungkin kita merasa dicabut dari zona nyaman kita dan dilempar ke tempat yang tidak kita kenal sebelumnya. Namun yang sebenarnya mungkin saja ini cara Tuhan iuntuk menempatkan kita di zona yang jauh lebih nyaman dari sebelumnya. 

Itu pula yang saya dan suami rasakan. Satu hal yang pasti, kami sangat bersyukur. Karena dengan di PHK dari tempat kerja yang lama, suami justru mendapat pekerjaan yang lebih baik, di tempat yang lebih baik, dan dengan penghasilan yang juga lebih baik dari sebelumnya. Sungguh hikmah tak terkira.

Suami istri bergandengan tangan

Suami dan istri harus berpegangan dan bergandengan tangan. Jangan saling menyalahkan, jangan saling tuding. Hadapi badai bersama-sama. Saling mendukung, saling menghibur, dan saling menguatkan. Jangan pula berpikir untuk berpisah, jangaaaan!!!

Alih-alih menyelesaikan masalah, bercerai hanya akan menciptakan masalah baru.

Tetap semangat dan terus berjuang

Anggap saja setiap masalah adalah ujian bagi kita. Melalui masalah kita dilatih untuk mampu survive dalam segala keadaan. Melalui masalah pula kita dibentuk untuk menjadi pribadi yang kuat, tangguh, tidak cengeng, dan tidak mudah putus asa. Dan melalui masalah pula, yang terutama kita akan semakin dekat dan semakin berserah pada Tuhan Sang Pemilik Semesta.

Akhir kata, hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan hanya dengan meratapi nasib. Bangkit dari keterpurukan, kembali bersemangat, jangan lewatkan setiap kesempatan, dan terus berjuang. Percaya, bahwa tidak ada perjuangan yang berakhir sia-sia.

Salam.

Martha Weda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun