Sang ayah yang memang tidak suka bertengkar, hanya bisa terdiam. Anak sulungnya memang kepala batu, tegar tengkuk, sulit dikasih tahu.
Sejak saat itu, sang ayah yang sejujurnya sangat merindukan kata maaf dari si sulung, tak lagi mengharapkannya. Wajah sang ayah seakan selalu menyimpan lara. Senyumnya tak lagi pernah sumringah. Sikapnya pada si sulung pun tak lagi sehangat sebelumnya.Â
Bertahun berlalu, si sulung tetap tak mau berjuang atas hidupnya, beberapa kali minta modal pada orangtua untuk usaha mandiri, namun usaha tak berjalan dan uang habis tak jelas.
Bertahun-tahun mengandalkan kiriman orangtua yang mulai renta dan bantuan dari kedua saudara laki-lakinya, dan tidak pernah merasa bersalah.
Enam tahun berlalu, sang Ayah yang sudah sakit-sakitan sejak tragedi si sulung, akhirnya tutup usia. Tanpa pernah sempat menerima permintaan maaf dari si sulung.
Entahlah apa yang terlintas di benak si sulung saat kepergian sang ayah untuk selamanya. Adakah dia menyesal atas segala kesalahannya? Adakah si sulung merasa telah merusak kebahagiaan orangtuanya? Adakah si sulung menyesal tak sempat meminta maaf pada sang Ayah? Entahlah... hanya dia dan Tuhan yang tahu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H