Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Hanya Ingin Mendengar Kau Meminta Maaf, Anakku

23 Mei 2020   04:06 Diperbarui: 23 Mei 2020   19:49 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: freeimage.com, by Martin Rotovnik

Alkisah, di sebuah keluarga, terdiri dari ayah, ibu, dan tiga orang anak. Satu perempuan dan dua laki-laki.

Ayah dan ibu yang berbahagia ini sangat menyayangi ketiga putra-putrinya. Semuanya sama di mata mereka, tak ada yang lebih di sayang, tak ada perbedaan. 

Si sulung perempuan sangat cantik dan rupawan. Perpaduan darah timur dan barat Indonesia membuat si sulung begitu menawan. Sejak remaja hingga dewasa, tak terhitung bujang dan tuan yang berusaha memikat hatinya.

Namun di balik kecantikan si sulung, tersimpan sikap mental serta karakter yang sangat berbeda dari kedua saudara laki-lakinya. Jiwa pembangkang, ingin menang sendiri dan egois sangat kental mengalir dalam darahnya. Semua aturan orangtua ingin dilanggarnya, hidup ingin dijalani dengan caranya sendiri. Menganggap dirinya paling benar, juga paling benci dinasehati, apalagi oleh kedua orangtuanya.

Orangtua baginya hanyalah produk jadul yang sudah ketinggalan jaman. Dimana pikiran, pendapat dan nasihat-nasihatnya sudah tak lagi masuk akal diterapkan di jaman high technology.

Begitu pula dalam hal memilih pasangan hidup, si sulung tak mau diatur-atur. Dia harus memilih sendiri dan dengan cara dan kriterianya sendiri. Sesungguhnya orangtuanya pun tak pernah mengatur pilihan jodohnya. Wajar saja kalau orangtua memberi nasihat untuk lebih selektif dalam memilih pasangan hidup, demi kebahagiannya sendiri.

Sampai suatu ketika, setelah berkali-kali menjalin cinta dengan beberapa lelaki dan berakhir dengan kegagalan, si sulung berkenalan dengan seorang pria, melalui sosial media. Dan entah kenapa, kali ini si sulung jatuh cinta setengah mati pada si lelaki. Hingga rela mendatangi laki-laki itu yang tinggal di lain kota. Profil di medsos yang tampak mentereng dan menjanjikan sepertinya telah menyihir si sulung begitu kuat.

Kedatangan yang semula hanya sekali, akhirnya berulang hingga berkali-kali, bahkan sampai menginap di rumah sang lelaki. Tanpa diketahui kedua orangtuanya. Apalagi si sulung tinggal sendiri, nge-kost di sebuah kota besar, dan orangtua nya tinggal di luar pulau. Kebebasannya tak lagi bisa dipertanggungjawabkan.

Tentulah mudah ditebak apa yang terjadi apabila lelaki dan perempuan bertemu di suatu tempat sepi, apalagi sang lelaki hanya tinggal sendiri di sebuah rumah.

Kejadian yang diinginkan merekapun terjadi. Si sulung hamil! 

Orangtua yang akhirnya mengetahui, tak mampu berkata-kata, terutama sang ayah yang pada dasarnya tidak bisa marah pada anak-anaknya. Hanya mampu tertunduk lesu dengan lidah kelu. Menerima kenyataan dengan hati tersayat, anak yang begitu disayang, begitu dibanggakan, begitu diharapkan, mencoreng arang ke muka mereka.

Singkat cerita, si sulung baru mengetahui kemudian, kalau lelaki yang menghamilinya tak lebih dari seorang penipu, lelaki tanpa pekerjaan jelas, yang memanfaatkan media sosial untuk mendapatkan keuntungan gratis, dan merusak gadis-gadis. Entah bagaimana rayuannya, hingga si sulung, seorang dengan pendidikan tinggi dan pekerjaan bagus, mampu ditipunya mentah-mentah.

Apa mau dikata, bubur sudah basi, tak lagi bisa ditanak menjadi nasi. Kehormatan hilang, namun tak dinikahi. Malah mendapat tanggungan baru, calon jabang bayi.

Si sulung terpaksa berhenti bekerja. Pekerjaan yang tadinya cukup.mapan sebagai seorang manager di sebuah bank cabang pembantu, harus rela dilepas daripada menanggung malu, hamil tanpa suami. Bahkan tak bisa pulang kampung, karena orangtuanya keberatan menanggung malu dan jadi bahan gunjingan satu kampung.

Alhasil kehidupan selanjutnya bergantung sepenuhnya pada orangtua. Orangtua yang beranjak senja, yang harusnya hidup nyaman menikmati hari tua, malah harus menanggung dua jiwa sekaligus. Betapa berat beban mereka. 

Lantas, apakah sifat si sulung berubah setelah tragedi ini? Sama sekali tidak. Bisa dikata, si sulung merasa tidak bersalah. Dalam sesekali pembicaraan,  malah terlontar dari si sulung, penyebab kelalaiannya karena karakter orangtuanya menurun padanya. What?

Bukankah kau sudah dewasa, gadis? Segala perbuatanmu adalah murni tanggungjawabmu. Mengapa orangtua yang tak bersalah kau jadikan kambing hitam?

Selain karakter yang tak berubah, pun tak ada permintaan maaf atau sujud memohon ampun pada kedua orangtuanya. 

Sekali waktu, saat si jabang bayi telah berusia sekitar satu tahun, datanglah kedua orangtuanya dari luar pulau, berkunjung sekaligus mendiskusikan kelanjutan hidupnya. Karena selama itu si sulung tak mau lagi bekerja dan hanya mengandalkan kiriman uang dari orangtuanya serta bantuan dari kedua saudara laki-lakinya yang telah hidup mandiri.

Ada saja alasannya saat diminta untuk kembali bekerja. Memang si sulung tidak bisa lagi bekerja di dunia perbankan, akibat ulahnya, namanya tercatat black list karena tidak mampu nelunasi hutang kartu kredit yang digunakannya untuk gaya hidup mewah sebelum tragedi itu terjadi. Tapi bukankah seharusnya masih banyak pekerjaan lain selain di bank.

Tapi apa yang terjadi saat diskusi tengah berlangsung, alih-alih meminta maaf dan mengakui kesalahan di hadapan kedua orangtua, si sulung malah menjerit-jerit seperti orang kesurupan, tidak terima disalahkan dan duduk seolah pesakitan. Si sulung menganggap apa yang terjadi padanya hanya satu hal yang tak perlu dipanjang lebar. Dia pun berkata dengan arogan bahwa sudah kewajiban orangtua untuk mengurus hidup anak-anaknya seumur hidup mereka! Astaga....

Sang ayah yang memang tidak suka bertengkar, hanya bisa terdiam. Anak sulungnya memang kepala batu, tegar tengkuk, sulit dikasih tahu.

Sejak saat itu, sang ayah yang sejujurnya sangat merindukan kata maaf dari si sulung, tak lagi mengharapkannya. Wajah sang ayah seakan selalu menyimpan lara. Senyumnya tak lagi pernah sumringah. Sikapnya pada si sulung pun tak lagi sehangat sebelumnya. 

Bertahun berlalu, si sulung tetap tak mau berjuang atas hidupnya, beberapa kali minta modal pada orangtua untuk usaha mandiri, namun usaha tak berjalan dan uang habis tak jelas.

Bertahun-tahun mengandalkan kiriman orangtua yang mulai renta dan bantuan dari kedua saudara laki-lakinya, dan tidak pernah merasa bersalah.

Enam tahun berlalu, sang Ayah yang sudah sakit-sakitan sejak tragedi si sulung, akhirnya tutup usia. Tanpa pernah sempat menerima permintaan maaf dari si sulung.

Entahlah apa yang terlintas di benak si sulung saat kepergian sang ayah untuk selamanya. Adakah dia menyesal atas segala kesalahannya? Adakah si sulung merasa telah merusak kebahagiaan orangtuanya? Adakah si sulung menyesal tak sempat meminta maaf pada sang Ayah? Entahlah... hanya dia dan Tuhan yang tahu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun