Orangtua yang akhirnya mengetahui, tak mampu berkata-kata, terutama sang ayah yang pada dasarnya tidak bisa marah pada anak-anaknya. Hanya mampu tertunduk lesu dengan lidah kelu. Menerima kenyataan dengan hati tersayat, anak yang begitu disayang, begitu dibanggakan, begitu diharapkan, mencoreng arang ke muka mereka.
Singkat cerita, si sulung baru mengetahui kemudian, kalau lelaki yang menghamilinya tak lebih dari seorang penipu, lelaki tanpa pekerjaan jelas, yang memanfaatkan media sosial untuk mendapatkan keuntungan gratis, dan merusak gadis-gadis. Entah bagaimana rayuannya, hingga si sulung, seorang dengan pendidikan tinggi dan pekerjaan bagus, mampu ditipunya mentah-mentah.
Apa mau dikata, bubur sudah basi, tak lagi bisa ditanak menjadi nasi. Kehormatan hilang, namun tak dinikahi. Malah mendapat tanggungan baru, calon jabang bayi.
Si sulung terpaksa berhenti bekerja. Pekerjaan yang tadinya cukup.mapan sebagai seorang manager di sebuah bank cabang pembantu, harus rela dilepas daripada menanggung malu, hamil tanpa suami. Bahkan tak bisa pulang kampung, karena orangtuanya keberatan menanggung malu dan jadi bahan gunjingan satu kampung.
Alhasil kehidupan selanjutnya bergantung sepenuhnya pada orangtua. Orangtua yang beranjak senja, yang harusnya hidup nyaman menikmati hari tua, malah harus menanggung dua jiwa sekaligus. Betapa berat beban mereka.Â
Lantas, apakah sifat si sulung berubah setelah tragedi ini? Sama sekali tidak. Bisa dikata, si sulung merasa tidak bersalah. Dalam sesekali pembicaraan, malah terlontar dari si sulung, penyebab kelalaiannya karena karakter orangtuanya menurun padanya. What?
Bukankah kau sudah dewasa, gadis? Segala perbuatanmu adalah murni tanggungjawabmu. Mengapa orangtua yang tak bersalah kau jadikan kambing hitam?
Selain karakter yang tak berubah, pun tak ada permintaan maaf atau sujud memohon ampun pada kedua orangtuanya.Â
Sekali waktu, saat si jabang bayi telah berusia sekitar satu tahun, datanglah kedua orangtuanya dari luar pulau, berkunjung sekaligus mendiskusikan kelanjutan hidupnya. Karena selama itu si sulung tak mau lagi bekerja dan hanya mengandalkan kiriman uang dari orangtuanya serta bantuan dari kedua saudara laki-lakinya yang telah hidup mandiri.
Ada saja alasannya saat diminta untuk kembali bekerja. Memang si sulung tidak bisa lagi bekerja di dunia perbankan, akibat ulahnya, namanya tercatat black list karena tidak mampu nelunasi hutang kartu kredit yang digunakannya untuk gaya hidup mewah sebelum tragedi itu terjadi. Tapi bukankah seharusnya masih banyak pekerjaan lain selain di bank.
Tapi apa yang terjadi saat diskusi tengah berlangsung, alih-alih meminta maaf dan mengakui kesalahan di hadapan kedua orangtua, si sulung malah menjerit-jerit seperti orang kesurupan, tidak terima disalahkan dan duduk seolah pesakitan. Si sulung menganggap apa yang terjadi padanya hanya satu hal yang tak perlu dipanjang lebar. Dia pun berkata dengan arogan bahwa sudah kewajiban orangtua untuk mengurus hidup anak-anaknya seumur hidup mereka! Astaga....