Mohon tunggu...
Tryas Febrian
Tryas Febrian Mohon Tunggu... Programmer - Complex

I love your writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saling Menemukan

11 September 2020   12:46 Diperbarui: 11 September 2020   16:49 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Pada suatu hari, di salah satu sudut fakultas sains dan matematika, tempat favorit mahasiswa-mahasiswa bercengkerama menghabiskan waktunya untuk sekadar menunggu jam kuliah dimulai. Pada saat itu kita berkenalan. Kamu sudah bisa aku kenali wajahnya bahkan sebelum kamu tepat sampai dihadapanku. 

Dengan tampilan casual, memakai kaos ditambah outer entah itu cardigan, sweater, atau jacket, aku tidak begitu ingat, tetapi aku sangat ingat kamu memakai kacamata dengan lensa bulat. Teringat sangat jelas saat itu aku sangat suka dengan senyum pertamamu, lalu tangan kita saling bertemu hanya untuk beberapa detik, tanda perkenalan. Senyum malu-malu, obrolan yang terbata-bata dari dua orang yang sedang dihantam kecanggungan akibat pertemuan pertama, pertama kalinya untuk saling menatap.

Aku suka siang menjelang sore itu, teduh. Tapi aku merasa gerah, mungkin karena seketika darahku terpacu lebih cepat, sehingga jantungku terasa sangat berdebar kencang. Sebelum hari itu tiba, aku sering menggambarkanmu dan bercerita lewat beberapa tulisan, alakadarnya saja. Buah dari mengingat-ingat wajahmu yang bahkan baru aku lihat sekali saja di lapangan basket, namun melekat di kepalaku lebih dari sekali. Ada perasaan senang sekaligus takut pada saat itu. Membuatku menahan sesuatu yang mungkin saja jatuh terlalu cepat, hati.

Terimakasih Tuhan. begitu ucapanku didalam hati sesaat setelah pertemuan kemarin berakhir. Bukan benar-benar berakhir, karena perkenalan yang cukup formal kemarin membawa kita pada kebersamaan yang semakin berlanjut. Hari demi hari berikutnya, kantin kampus tempat kita berkenalan menjadi tempat kita janjian bertemu. Sebagai laki-laki, aku menunjukan kejantananku dengan selalu mengalah menemui kamu di tempat yang paling dekat dengan gedung perkuliahanmu. 

Kamu ingat? saat itu Semarang sedang hujan-hujannya dan kita sedang kasmaran-kasmarannya. Eww kita? Mungkin hanya aku. Aku tidak pernah benar-benar menanyakannya kepadamu. “Hai, apakah kamu sedang jatuh hati kepadaku seperti aku yang sekarang sedang menyukaimu teramat-sangat dan segila-gilanya?” Konyol sekali! Kita sering menghabiskan waktu di kantin, berbicara tentang kuliahmu, tentang makanan kesukaanmu, bahkan apa saja yang kamu sukai, apa saja. 

ahkan kita pernah tidak berbicara sama sekali hanya untuk menghabiskan waktu bersama. Semuanya tidak begitu aku pikirkan, aku hanya ingin duduk didekatmu dan denganmu. Sekadar mendengarkan langkah kaki mahasiswa lain, atau mengomentari hal-hal remeh di sekitar dan yang penting aku bisa melihat wajahmu lama dari sedikit waktu yang kita punya sampai pada akhirnya kita dipisahkan lagi oleh jam kuliahmu yang sangat padat.

Kamu lebih mendominasi dalam hal bercerita dan bertanya. Aku lebih banyak mendengarkan, dan menjawab pertanyaanmu saja. Atau hanya tertawa sesekali, dan lebih sering tersenyum. Aku senang mendengarkan suaramu (mungkinkah aku satu-satunya yang bilang begitu? karena menurutku suaramu aneh. Tapi aku suka). 

Kita bercerita di tengah segala keramaian yang membaur jadi satu, entah keributan mahasiswi yang sedang bergosip diikuti pekik tawa, entah suara penjual yang sedang melayani pembeli yang cerewet, atau malah kadang bersahut-sahutan dan bersaing dengan suara atap kantin yang diserbu oleh pasukan hujan. Sangat berisik, tapi aku suka. 

 “Americano”

“Green tea milk shake” 

Bahkan minumannya pun selucu wajahnya. She’s not coffee people. Gumamku dalam hati. Disuatu ketika kita memesan minuman di tempat favoritmu, yang kemudian menjadi favorit kita. Tempat dengan banyak sekali buku, dan kamu dengan gesit mengajakku ke sana karena kamu tahu aku suka sekali dengan buku. Ah, ketemu! lagi-lagi gejolak kasmaran bulan-bulan pertama pendekatan. Aku suka buku, melihat buku, mencium wanginya, berada di antaranya. Tapi aku tidak tergila-gila dalam membaca buku. Hanya suka saja, tidak sampai gila. Karena satu-satunya yang membuatku gila itu hanya kamu, hahaha.

“Kenapa kopi?"

Aku sangat butuh terjaga karena aku sangat takut tertidur dan mendapati aku yang ternyata hanya bermimpi bisa mengenal kamu sampai bisa mengobrol sedekat ini. Berduaan di tempat yang menurutku romantis. 

"Peres ah!" Katanya.

“Pertama karena wanginya. Kedua karena pahitnya. Americano itu pahit, esensi kopinya jadi tidak hilang, tapi aku bukan penggemar kopi kok, hanya sekadar suka. Hehe” Kataku sambil kembali meneguk kopiku.

Aku bukan penggemar dan penikmat kopi dengan segala rupa yang membuatnya menjadi begitu sangat filosofis dan membuat penikmatnya merasakan magis pada tiap tegukanya, tidak begitu. Aku hanya penikmat keindahan Tuhan yang sekarang berada dihadapanku, yaitu kamu. Oke, bridging yang lumayan ciamik.

    Kamu mengambil buku dengan cover dan isi yang penuh warna di salah satu rak novel. Aku suka membaca buku dengan huruf yang banyak, sedangkan kamu suka membaca buku dengan gambar yang banyak. Setelah minuman yang kita pesan tidak serupa, buku yang kita bacapun sangat berbeda. 

Aku tidak sedang mencari persamaan atau perbedaan diantara kita seperti pasangan-pasangan lain yang dengan sengaja mencari-cari persamaan ketika mereka sedang jatuh cinta. Aku hanya sedang menyadari satu hal. Kita berbeda dan menyenangkan menemukan sesuatu yang baru dalam dirimu. Dan aku yakin bukan kesamaan yang membuat dua orang bertahan, tapi keinginan untuk bersama itu sendiri dan banyak hal lain yang lebih penting dari sekedar kesamaan-kesamaan yang klise.

Hari itu aku dan kamu banyak tersenyum, sekuat tenaga aku paksa kepalaku untuk mengingatnya, karena aku tidak yakin sehabis menyudahi pertemuan ini aku tidak rindu senyuman kamu.

     Aku beri tahu tentang suatu hal, ternyata kenyataan bisa saja lebih indah daripada mimpi. Karena sekarang aku bisa bersamamu tanpa harus bermimpi. Tapi aku ingin pelan-pelan saja, agar jika sampai harus terjatuh, hatiku tidak akan terlalu sakit. Pikirku, aku sudah cukup bahagia hanya dengan duduk-duduk dekat jendela sambil menunggu hujan reda bersamamu, atau hanya dengan mengetahui kabarmu setiap hari. Aku terlalu larut dalam ketakutan, aku tidak mau maju, tidak pula ingin mundur. Aku ingin begini saja. Tanpa membawa keadaan ini ke manapun.

Kamu menawarkan harapan yang begitu banyak padaku, sama seperti yang kehidupan tawarkan padaku. Hidup ini adalah perjudian. Saat itu aku tidak ingin melempar dadu hanya untuk melego keberuntunganku. Meja judi terlalu kejam untuk sebuah hati yang mudah patah. Sekalipun harapan itu begitu manisnya jika dibayangkan, namun akan selalu ada kekecewaan yang hadir bersamanya.

Yang aku takutkan akhirnya terjadi. Beberapa bulan bersama akhirnya mengembalikan kita pada jalan kita masing-masing. Kamu memilih menjauh, atau lebih tepatnya menunggu sampai hatiku benar yakin. Sampai aku bisa menerima bahwa ketika memutuskan untuk bersama hanyalah menunggu waktu untuk berpisah pada akhirnya.

    Ada lagu tentang hujan yang kita dengar berulang-ulang pada setiap perjalanan mengantarkanmu pulang. Saat itu jarak kita jauh dari sejengkal, dibungkus malu - malu dan senyuman ragu. Aku dan kamu memang sedemikian jatuh cintanya. Aku yakin Tuhan pun cemburu. Tapi tunggulah hari dimana kamu tak tampak di depan kelopak mataku, aku begitu cemasnya memikirkan siapa yang memelukmu ketika kamu sedang melemah, sedang aku di sini memeluk tubuhku sendiri.

Tiga hari kemudian menjadi dua minggu hingga menjadi satu bulan. Aku masih menunggu pesanmu yang datang sesekali, tanpa temu dan rindu. Namun takan pernah sampai ke telingamu sebab aku terlalu malu. Berharap esok hari dan bertemu sore seteduh saat kita sama-sama, walau aku tahu esok hari pun belum tentu datang. Begitulah denganmu, aku bahkan terlalu ingin berharap meski tahu pasti besar kemungkinan hanya berakhir menjadi harapan.

    Setelah beberapa lama aku melego perasaan, belakangan aku tau kamu menulis pesan bahwa kamu meninggalkan sesuatu di rumah buku sekaligus kedai kopi tempat favorit kita. Katamu itu surat kecil, surat itu kamu selipkan diantara lembar-lembar buku. Kamu hanya memberitahu judul bukunya. Selanjutnya aku segera mencari. Aku masih sering datang ke sana, sendirian. Menghabiskan sore hanya karena terlalu rindu kamu.

Jari-jari ku sibuk mencari buku satu demi satu, lama sekali. Sangat lama!

source : amazon.com
source : amazon.com
“History of Japan!”. Ah aku menemukannya!

Sayang, kamu selalu berhasil membangunkan kupu-kupu yang sedang tidur di pundakku. Kamu tahu, surat dengan tulisan tangan adalah lembar yang tak pernah bisa dibayar dengan kalimat puitis apapun yang kamu tulis pada papan ketik ponselmu, atau dalam bentuk tweet bahkan kompasiana. Hari itu aku mendapatkan surat paling manis yang pernah aku dapat selama aku hidup. 

Sepucuk kertas itu pun terbuka dengan mudahnya, aku menemukan secarik kertas yang setia menunggu di dalam buku dan menunggu untuk segera dibuka. Benar saja, surat kecil yang sangat manis. Tepat kutemukan saat langit sedah merah-merahnya, dan cangkir kopi keduaku datang. Sore itupun menjadi kian melambat.

Ah aku jatuh cinta lagi...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun