“Kenapa kopi?"
Aku sangat butuh terjaga karena aku sangat takut tertidur dan mendapati aku yang ternyata hanya bermimpi bisa mengenal kamu sampai bisa mengobrol sedekat ini. Berduaan di tempat yang menurutku romantis.
"Peres ah!" Katanya.
“Pertama karena wanginya. Kedua karena pahitnya. Americano itu pahit, esensi kopinya jadi tidak hilang, tapi aku bukan penggemar kopi kok, hanya sekadar suka. Hehe” Kataku sambil kembali meneguk kopiku.
Aku bukan penggemar dan penikmat kopi dengan segala rupa yang membuatnya menjadi begitu sangat filosofis dan membuat penikmatnya merasakan magis pada tiap tegukanya, tidak begitu. Aku hanya penikmat keindahan Tuhan yang sekarang berada dihadapanku, yaitu kamu. Oke, bridging yang lumayan ciamik.
Kamu mengambil buku dengan cover dan isi yang penuh warna di salah satu rak novel. Aku suka membaca buku dengan huruf yang banyak, sedangkan kamu suka membaca buku dengan gambar yang banyak. Setelah minuman yang kita pesan tidak serupa, buku yang kita bacapun sangat berbeda.
Aku tidak sedang mencari persamaan atau perbedaan diantara kita seperti pasangan-pasangan lain yang dengan sengaja mencari-cari persamaan ketika mereka sedang jatuh cinta. Aku hanya sedang menyadari satu hal. Kita berbeda dan menyenangkan menemukan sesuatu yang baru dalam dirimu. Dan aku yakin bukan kesamaan yang membuat dua orang bertahan, tapi keinginan untuk bersama itu sendiri dan banyak hal lain yang lebih penting dari sekedar kesamaan-kesamaan yang klise.
Hari itu aku dan kamu banyak tersenyum, sekuat tenaga aku paksa kepalaku untuk mengingatnya, karena aku tidak yakin sehabis menyudahi pertemuan ini aku tidak rindu senyuman kamu.
Aku beri tahu tentang suatu hal, ternyata kenyataan bisa saja lebih indah daripada mimpi. Karena sekarang aku bisa bersamamu tanpa harus bermimpi. Tapi aku ingin pelan-pelan saja, agar jika sampai harus terjatuh, hatiku tidak akan terlalu sakit. Pikirku, aku sudah cukup bahagia hanya dengan duduk-duduk dekat jendela sambil menunggu hujan reda bersamamu, atau hanya dengan mengetahui kabarmu setiap hari. Aku terlalu larut dalam ketakutan, aku tidak mau maju, tidak pula ingin mundur. Aku ingin begini saja. Tanpa membawa keadaan ini ke manapun.
Kamu menawarkan harapan yang begitu banyak padaku, sama seperti yang kehidupan tawarkan padaku. Hidup ini adalah perjudian. Saat itu aku tidak ingin melempar dadu hanya untuk melego keberuntunganku. Meja judi terlalu kejam untuk sebuah hati yang mudah patah. Sekalipun harapan itu begitu manisnya jika dibayangkan, namun akan selalu ada kekecewaan yang hadir bersamanya.
Yang aku takutkan akhirnya terjadi. Beberapa bulan bersama akhirnya mengembalikan kita pada jalan kita masing-masing. Kamu memilih menjauh, atau lebih tepatnya menunggu sampai hatiku benar yakin. Sampai aku bisa menerima bahwa ketika memutuskan untuk bersama hanyalah menunggu waktu untuk berpisah pada akhirnya.