Perlu penelusuran lebih mendalam untuk membuktikan kausalitasnya. Berapa jumlah pakaian impor bekas ilegal dibanding produksi pakaian baru sehingga bisa mengganggu penjualan pakaian baru lokal? Ataukah ada pengaruh dari pakaian impor legal lain?
National Chairman IFC, Ali Charisma mengambil contoh penurunan tenaga kerja industri tekstil di Kenya. Ali mengatakan bahwa penurunan tenaga kerja di industri tekstil di Kenya, dari 500 ribu orang menjadi 20 ribu orang, disebabkan oleh masuknya pakaian impor ke Kenya.
Perhitungan Ali itu bisa dibilang absurd karena korelasinya kurang jelas. Apakah 480 ribu pekerja industri tekstil berubah profesi menjadi penjual pakaian bekas atau berkurang karena PHK yang disebabkan oleh penurunan produksi industri? Pun penurunan industri garmen di Kenya perlu dicari tahu penyebab sebenarnya.
Pernyataan berlawanan datang dari Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira. Bhima mengatakan bahwa gangguan terhadap industri garmen lokal lebih besar disebabkan oleh impor legal pakaian dari Cina.
Hitungannya dari besar impor. Bhima menyebut, impor pakaian dari Cina pada tahun 2022 mencapai Rp 6,2 triliun. Sementara, melihat data impor pakaian bekas di paragraf awal esai ini, hanya sekitar Rp 446,7 miliar. Logika ini kelihatannya lebih masuk akal.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia atau API, Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, mengatakan industri garmen menurun karena pelemahan rupiah dan anjloknya permintaan global, khususnya Eropa dan Amerika.
Seperti diketahui bahwa negara-negara Eropa dan Amerika mengalami kesulitan ekonomi. Pakaian tentu merupakan barang yang bisa ditunda pembeliannya dengan memanfaatkan perputaran pakaian bekas dalam negeri mereka.
Industri garmen bertumbuh?
Meski demikian, secara kasat mata kita masih melihat banyak gerai pakaian baru buka dimana-mana. Mulai dari yang branded di mal-mal, hingga yang relatif murah di pasar-pasar tradisional dan pertokoan. Jangan-jangan barang yang mereka jual murah itu adalah barang impor yang legal?
Kementerian Industri justru merilis fakta bahwa industri garmen Indonesia ternyata terus bertumbuh. Pada tahun 2019, pertumbuhan industri garmen tercatat sebesar 19,48%, lebih tinggi dari pertumbuhan industri minuman.
Pada tahun 2020 dan 2021, industri garmen memang anjlok akibat pandemi, namun di tahun 2022 kembali naik. Pada triwulan III tahun 2022, pertumbuhan industri garmen Indonesia dilaporkan sebesar 8,09% dibandingkan periode yang sama di tahun 2021.
Fakta pertumbuhan industri garmen ini diperkuat dengan adanya sembilan industri yang melakukan perluasan investasi pada tahun 2021. Total investasi kesembilan industri tersebut di Pulau Jawa dilaporkan sebesar Rp 2 triliun dan di Pulau Sumatera sebesar Rp 8,5 triliun.