Ironisnya, perkembangan teknologi, mode, dan gaya hidup menyebabkan warga bumi semakin menganut fast fashion. Yaitu penggunaan pakaian dalam waktu relatif singkat kemudian membeli pakaian baru dengan mode yang lebih baru lagi.
Sumber-sumber menyebutkan bahwa 73-95% pakaian bekas berakhir di TPA padahal pakaian memakan waktu yang relatif lama untuk terurai. Pakaian jenis wol bisa terurai hingga 5 tahun, nilon 40 tahun, dan polyester 200 tahun.
Selama itu, pakaian melepaskan gas rumah kaca atau pewarna pelindian, dan bahan kimia berbahaya lainnya ke tanah dan air. Polusi.
Dampak buruk pakaian terhadap lingkungan ini sudah diangkat banyak penelitian. Didasari pemahaman itulah, negara-negara maju telah lama mengampanyekan untuk tidak membuang pakaian bekas tetapi mengedarkannya. Kebijakan ini sering disebut zero waste.
Banyak lembaga-lembaga sosial di negara maju yang menampung pakaian bekas dan menyalurkannya ke orang-orang yang membutuhkan. Sebagian memang dijual di toko tetapi dengan harga sangat murah. Tujuannya tetap sama, untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.
Di Selandia Baru (pasti juga di negara Eropa lainnya), tempat sampah khusus untuk pakaian (clothing bin) disediakan di mana-mana. Orang-orang dihimbau untuk tidak membuang pakaian bekas tapi mendonasikannya. Slogan yang sering diapungkan: "reduce waste and help others" atau "keep your clothes and shoes out of landfill".
Peredaran pakaian bekas memang memberikan manfaat secara sosioekonomi. Bayangkan, berapa orang yang terbantu secara ekonomi dengan donasi pakaian bekas atau yang dijual murah. Ya, konsep sebenarnya adalah donasi, bukan bisnis.
Perputaran pakaian bekas juga memberi manfaat terhadap lingkungan, yakni mengurangi polusi. Selain polusi yang disebabkan pakaian bekas di TPA, perputaran pakaian bekas juga berpotensi menekan produksi pakaian baru yang terbukti berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan.
Mematikan industri lokal?
Sekarang kita masuk ke argumen ketiga, apakah perputaran pakaian bekas mematikan industri lokal? Hanya penelitian yang bisa menjawab pertanyaan ini. Analisis data yang benar akan menunjukkan apakah perputaran pakaian bekas berpotensi mematikan industri garmen lokal atau tidak.
Namun saya juga belum menemukan dokumen atau berita mengenai penelitian seperti itu yang diutarakan pemerintah atau pelaku usaha industri garmen. Dengan keterbatasan data dan informasi, kita hanya bisa menggunakan logika sederhana baik yang diutarakan pihak pro maupun pihak kontra.
Pejabat pemerintah dan pelaku usaha umumnya menyebut harga pakaian bekas yang lebih murah menjadi faktor yang merugikan industri garmen lokal. Logika tersebut belum bisa diterima secara ilmiah.