Diluar aktivitas tersebut, faktor aturan dan biaya parkir kendaraan dan pemberhentian angkutan umum turut menyebabkan orang di Selandia Baru lebih banyak berjalan kaki. New Zealand Household Travel Survey menunjukkan jalan kaki mengambil porsi 16% transportasi warga Selandia Baru (Shaw dan Russell, 2016).
Ahli kesehatan telah menyarankan paparan sinar matahari dan olahraga untuk meningkatkan imunitas tubuh. Saat pandemi influenza merebak di tahun 1918, kombinasi udara segar dan sinar matahari terbukti menurunkan peluang infeksi dan kematian. Hal ini juga dipercaya berlaku pada pandemi COVID-19 (Hobday, 2020).
Bagaimana dengan Indonesia?
Pengalaman negara-negara di atas bisa menjadi cermin bagi Indonesia. Apakah yang berbeda dengan penanganan di tanah air? Apakah pemerintah tidak mengambil langkah yang sama seperti negara-negara tersebut?
Kondisi lapangan Indonesia tentu sangat berbeda dengan negara-negara itu dalam segala aspek. Luas wilayah, kondisi geografis, jumlah penduduk, heterogenitas etnis, karakter penduduk, tingkat pendapatan per kapita, struktur perekeonomian, kemampuan finansial negara, hingga sistem pemerintahan dan kondisi politik dalam negeri. Semuanya mempengaruhi perancangan kebijakan, sekaligus keberhasilannya.
Pakar-pakar kebijakan publik pun selalu menekankan prinsip bahwa tidak selamanya kebijakan publik bisa di-copy-paste secara rinci dari satu tempat ke tempat yang lain. Walaupun demikian, kondisi lapangan juga tidak serta merta menjadi pembenaran untuk tidak mendesain kebijakan publik yang baik.
Apa saja langkah-langkah yang seharusnya dilakukan untuk menekan kasus COVID-19 dan bagaimana evaluasi penanganan di Indonesia? Penulis mencoba merangkumnya di artikel lain berjudul Mengapa Kurva COVID-19 Indonesia Masih “Naik-naik ke Puncak Gunung”?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H