Kebijakan lockdown juga diambil oleh Timor Leste pada bulan Maret 2020 dan Thailand pada bulan April 2020. Sama seperti Selandia Baru dan Timor Leste, Taiwan dan Thailand juga cepat menutup bandara internasionalnya walaupun pariwisata adalah kekuatan ekonomi mereka.
Brunei Darussalam sendiri menutup pintu masuk bagi pengunjung dari negara-negara yang terdapat banyak kasus COVID-19 seperti Italia dan Iran pada bulan Maret 2020. Pendatang yang memiliki riwayat perjalanan dari Provinsi Hubei RRT bahkan sudah dilarang masuk sejak bulan Januari 2020.
Selebihnya, negara-negara tersebut di atas pun melakukan hal yang sama dengan Indonesia seperti menutup pusat perbelanjaan, sekolah-sekolah dan perhelatan keramaian untuk mengurangi kluster-kluster transmisi.
Tes dan pelacakan
Sebagaimana yang dilansir media Business Insider, upaya penting Selandia Baru lainnya adalah tes dan pelacakan (tracing) yang efektif. Tes massal dilakukan dan setiap kasus dilacak riwayat kontaknya untuk memperkecil penyebaran. Orang-orang yang kontak dekat dengan penderita segera dikarantina agar tidak berpotensi menulari yang lain. Aplikasi NZ Covid Tracer pun diluncurkan untuk mempermudah pelacakan.
Pelacakan juga dianggap salah satu faktor kunci Taiwan dalam menekan penyebaran virus. Bedanya, pelacakan di Taiwan bukan pelacakan riwayat kontak penderita, melainkan pelacakan kartu sim telepon selular orang-orang yang menjalani karantina. Hal ini dilakukan untuk memastikan orang tersebut taat menjalani karantina.
Komunikasi dan kepercayaan publik
Komunikasi dipercaya sebagai salah satu langkah penting dalam mengatasi pandemi. Perdana Menteri Selandia Baru dianggap menampilkan komunikasi yang baik dan mendapat kepercayaan publik. Slogan “Bersatu melawan COVID-19” milik Selandia Baru diterima sebagai pesan “perang” kepada seluruh penduduk untuk melawan pandemi.
Keberhasilan itu bukan serta merta datang dari dirinya sendiri melainkan lantaran disokong oleh para ahli di belakangnya yang melakukan berbagai analisis. Meski berhasil menihilkan kasus baru setelah 100 hari (selama bulan Maret-Mei), kasus baru toh kembali meningkat pada bulan-bulan berikutnya karena memang pandemi global ini belum usai.
Protokol kesehatan
Kunci penurunan kasus COVID-19 sesungguhnya ada pada kepatuhan penduduk untuk menerapkan protokol kesehatan. Lockdown sendiri merupakan upaya pemaksaan agar warga menjaga jarak dengan yang lain. Bagaimana pun juga, penularan virus itu terjadi dari kontak dekat bukan akibat status lockdown. Media Business Insider menyebut disiplin protokol kesehatan adalah salah satu kunci penting keberhasilan Selandia Baru.
Sementara keberhasilan Thailand sangat dipengaruhi oleh budaya salam mereka yang tidak kontak fisik, melainkan dengan wai, yaitu tangan tertangkup di dada seperti berdoa. Hal ini telah diulas di berbagai media internasional. Selain faktor wai, media New York Times juga menyebut Thailand sebagai negara yang dini menerapkan penggunaan masker di tempat umum.
Diluar faktor-faktor diatas, pengamat juga melihat ada faktor-faktor khusus seperti Thailand yang diuntungkan karena berbatasan dengan negara-negara yang juga minim kasus COVID-19. Lalu pengalaman Taiwan saat diterpa virus SARS dua puluh tahun lalu yang juga berasal dari Cina daratan, membuat kesiapan Taiwan lebih baik saat menghadapi pandemi COVID-19.
Selandia Baru memiliki keuntungan alam baik. Udara bersih, sinar matahari yang tidak terlalu panas plus infrastruktur yang baik membuat warganya gemar beraktivitas jogging, berjalan kaki atau bersepeda. Data Kementerian Kesehatan Selandia Baru tahun 2014 menunjukkan 51% orang dewasa aktif secara fisik sedikitnya 30 menit dalam sedikitnya 5 hari per minggu. Sementara 68% dewasa melakukan aktivitas olahraga dalam sedikitnya 3 hari per minggu (“Activity,” n.d.).