Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ dan melayani publik di Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengapa Selandia Baru Berhasil Menekan Kasus Covid-19?

5 Mei 2020   08:47 Diperbarui: 5 Mei 2020   10:10 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.exportnz.org.nz/

Tantangan lainnya adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Meski secara umum masyarakat Selandia Baru tidak bergejolak, tetapi ada juga masyarkat yang masih beraktivitas seperti biasa.

Tidak jarang penulis jumpai orang-orang yang tidak menggunakan masker, berpergian keluar rumah dan berinteraksi tanpa menjaga jarak. Masih juga ada kerabat yang saling berkunjung dan berkumpul-kumpul.

Untungnya, kota-kota di Selandia Baru memang tidak terlalu padat penduduk. Jumlah kasus yang tinggi memang terdapat di sekitar kota terbesar, yaitu Auckland yang berpenduduk 1,6 juta. Itu pun kepadatannya masih sekitar 1.200 orang per kilometer persegi. 

Bandingkan dengan Jakarta yang kepadatannya 14.000 orang per kilometer persegi. Hasil telusuran Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kasus penularan banyak terjadi di panti jompo, pesta pernikahan, perguruan tinggi, dan penginapan.

Menjaga kepercayaan warga adalah tantangan selanjutnya. Jumlah pasien baru justru semakin meningkat setelah lockdown diberlakukan. Kematian pasien COVID-19 pertama terjadi pada hari ketiga lockdown dan angka orang yang terpapar pun melonjak dari 102 menjadi 514. Jumlah kasus terus meroket hingga melewati angka 1000 pada hari kesebelas lockdown.

Tetapi argumen pemerintah bahwa dampak lockdown yang sebenarnya baru terlihat setelah dua minggu, tampaknya diterima publik. Menurut penulis, titik ini krusial karena jika masyarakat meragukan kefektifan lockdown di tengah jalan maka kedisiplinan akan kendur dan menjadi pekerjaan ekstra bagi pemerintah untuk menegakkan disiplin warga.

Tantangan paling menarik adalah dua tuntutan hukum yang ditujukan kepada Perdana Menteri. Tuntutan yang dilayangkan ke Pengadilan Tinggi Auckland itu menuduh Perdana Menteri melanggar kebebasan orang yang dianalogikan dengan penahanan ala Hitler. 

Tuntutan berlapis itu juga menyoal dampak ekonomi dan kesehatan dari kebijakan lockdown yang justru lebih buruk bagi banyak warga, sementara jumlah korban yang meninggal akibat COVID-19 hanya sedikit.

Lalu tantangan yang terberat adalah bila pandemi ini berkepanjangan. Gelombang penularan kedua dikhawatirkan datang setelah lockdown dicabut, dimana interaksi orang-orang kembali meningkat dan bandara kembali normal.

Apakah akan terjadi lonjakan kasus lagi yang berujung pada lockdown kedua? Bila ini terjadi, atau seperti prediksi para ahli bahwa dampak pandemi ini akan berlangsung selama setahun, apakah kemampuan finansial pemerintah cukup untuk mensubsidi rakyatnya?

Bicara soal subsidi, tidak semua juga warga Selandia Baru yang mendapatkannya. Subsidi pendapatan yang hilang diberikan malalui perusahaan-perusahaan pemberi kerja yang kemudian menyalurkannya kepada karyawan yang dirumahkan. Itu pun hanya berkisar delapan puluh persen dari pendapatan normal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun