(Ilustrasi kapal di danau toba dalam cuaca buruk)
Jika mengingat kiat tulisan opini yang bagus itu antara lain harus cepat dan terkini, maka coretan ini harusnya dipublikasi beberapa jam setelah kapal motor Sinar Bangun tenggelam di Danau Toba pada 18 Juni 2018 lalu dalam perjalanannya dari Simanindo menuju Tigaras.
Namun demi rasa kemanusiaan dan rasa empati yang terdalam terhadap seluruh keluarga korban, saya menunda publikasi tulisan ini untuk memberi waktu berduka tanpa buru-buru berkomentar dan mencari kesalahan.
Saya tidak akan bercerita tentang musibah yang memilukan hati itu karena sudah banyak artikel dan opini yang bertaburan di dunia maya. Saya ingin membagikan sebuah pengalaman dan mengakhirinya dengan pemikiran sederhana tentang hal paling minimal dari standar minimal kapal-kapal yang berlayar di Danau Toba.
Di bulan Juli tahun 1997, kapal penumpang bernama Peldatari tenggelam di tengah malam buta tak jauh dari daratan Tomok, Samosir. Kala itu lebih delapan puluh penumpangnya meninggal dunia dan sekitar sejumlah itu pula yang berhasil selamat. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai kecelakan terbesar di Danau Toba sebelum tragedi KM Sinar Bangun terjadi.
Tiga tahun setelahnya, yakni pertengahan tahun 2000, saya dan ayah mengiringi rombongan sekolah adik saya untuk bertamasya ke Pulau Samosir. Acara seperti itu biasa dilakukan sekolahnya untuk merayakan perpisahan antar sesama murid dan guru.
Adik saya yang kala itu ia hendak menamatkan Sekolah Menengah Pertama adalah seorang perempuan. Sehingga ayah saya mengambil keputusan untuk mendampinginya dengan mengendarai mobil pribadi bersama saya sementara adik saya bersama teman-temannya menggunakan bis yang dicarter pihak sekolah.
Singkat cerita rekreasi berlangsung lancar. Tibalah saat untuk pulang. Hari telah sore ketika kami menyeberang dari Tomok menuju Parapat. Bis dan mobil-mobil sengaja kami tinggal di Parapat sebelumnya karena kami menggunakan dua kapal wisata yang sudah disewa untuk perjalanan pulang dan pergi.
Kapal wisata di Danau Toba adalah kapal kecil bermuatan ideal lima puluh orang yang pada umumnya berkonstruksi dua tingkat. Menurut penuturan awak kapal, mesin yang digunakan adalah mesin diesel yang kekuatannya kurang lebih setara dengan dapur pacu truk.
Suasana di atas kapal sangat seru, maklumlah diisi mayoritas anak-anak remaja ditambah beberapa guru dan orang tua yang ikut mendampingi. Setelah sekitar setengah jam berlayar mendadak mesin kapal yang kami tumpangi mati.
Tanya punya tanya, kru kapal mengatakan bahwa propeller (baling-baling) terlilit sesuatu. Salah seorang dari mereka pun turun menyelam untuk melihat dan mengambil tindakan. Belakangan saya pikir ini perihal putus tali kemudi, setelah banyak kasus serupa terjadi.
Tanpa sadar langit semakin menghitam. Angin terasa semakin kencang dan kapal terombang-ambing di atas air danau. Karena mesin tidak hidup, kapal terasa lebih goyang saat diterpa ombak. Banyak kasus kapal terbalik dihajar ombak karena kondisi mesin yang mati.
Sepuluh menit pertama semua penumpang masih tertawa dan saling bersenda gurau, berpikiran bahwa kapal tak lama lagi akan melanjutkan perjalanan. Hingga kemudian ombak semakin tinggi dan kapal semakin oleng, kami pun mulai merasa khawatir. Mesin kapal belum juga berhasil dihidupkan.
Para awak tampak bingung dan memutuskan untuk menanti bantuan. Namun tanpa radio komunikasi, bantuan yang diharapkan itu hanya berupa kapal yang lewat. Sementara kami tampak sendiri di tengah danau.
Salah seorang kru menjawab pertanyaan takut kami, “Nanti orang akan melihat kita tidak bergerak-bergerak, pasti mereka akan datang mendekat untuk menanyakan kondisi kita.”
Astaga... begitu mekanisme penanggulangan keadaan darurat? Batinku. Ayah dan saya mulai cemas. Berapa lama waktunya hingga orang menyadari bahwa kami tidak bergerak? Sementara angin semakin kencang meniup air danau sehingga gelombangnya semakin tinggi.
Beberapa kali kapal miring ke satu sisi, kru kapal pun berteriak-teriak agar posisi penumpang terutama yang berada di lantai atas diseimbangkan di bagian kiri dan kanan. Rupanya karena hendak melihat sesuatu di satu sisi, anak-anak berkerumun pada satu sisi yang menyebabkan kapal miring.
Pada masa itu telepon seluler masih jarang digunakan dan kapal tak dilengkapi radio komunikasi, pun tanpa flare gun (pistol suar) untuk memberi tanda SOS ke langit. Kami mutlak sendirian meski nun jauh tampak satu-dua kapal kecil. Kabut mulai turun.
Hari menjelang senja. Angin kencang menampar-nampar dan ombak menggertak-gertak badan kapal yang mengapung pasrah diayun-ayun.
Dalam suasana yang semakin tegang, setengah berbisik ayah saya berkata, “Kamu bisa berenang, kan? Paling tidak mengapung. Biar Papi selamatkan adikmu, jika terjadi sesuatu.”
Darahku berdesir. Aku lupa apakah aku menjawab pertanyaannya waktu itu atau tidak. Karena perasaanku menangkapnya bukan sebagai sebuah pertanyaan, tetapi sebuah reaksi kecemasan yang tak tertutupi dan aba-aba untuk kondisi terburuk.
Apakah kapal ini akan terbalik? Apakah kami harus berakhir seperti ini?Hatiku menjerit. Ya, saya bisa sedikit berenang, tapi itu di kolam renang! Di tengah danau yang bergelora ini, entah saya bisa bertahan mengapung lebih dari lima menit atau tidak.
Jangan tanya pelampung. Meski sejak peristiwa tenggelamnya KM Peldatari tiga tahun sebelumnya seluruh kapal penumpang di Danau Toba diwajibkan membawa life jacket, tetapi letaknya entah dimana dan aku sangat yakin jumlahnya tak sampai separuh jumlah penumpang yang ada di atas kapal saat itu.
Tak berapa lama kapal satu lagi yang juga disewa oleh rombongan kami tampak di kejauhan. Mereka mendekat dan akhirnya merapat untuk kemudian mengevakuasi sebagian penumpang dari kapal kami. Kapal itu pun menarik kapal yang kami tumpangi hingga merapat ke pelabuhan Parapat.
Apakah kapal yang kami tumpangi memiliki manifest? Tentu tidak karena itu kapal carteran. Dan juga tidak untuk kapal-kapal penumpang tradisional lainnya. Kecuali kapal feri, semua kapal-kapal di Danau Toba tidak memiliki manifestasi penumpang karena mereka membayar setelah berada di atas kapal. Ya, persis seperti angkutan perkotaan alias angkot.
Tidak perlu juga berkomentar muluk-muluk. Di Danau Toba itu, kapal adalah transportasi rakyat dari satu tempat ke tempat yang lain, tentu tidak menggunakan tiket apalagi fotokopi KTP. Untuk beberapa tempat seperti Tuk Tuk, Balige, atau Silalahi misalnya, kapal ngetemdan memanggil siapa saja yang mau naik untuk menumpang lalu berangkat.
Jika menelusuri lebih jauh ke "arah hulu", konstruksi kapal wisata di Danau Toba mungkin perlu ditinjau apakah telah melalui uji teknis? KM Sinar Bangun diketahui memiliki tiga lantai! Apakah ketinggian badan kapal sudah mempertimbangkan lebar dan berat bagian bawah kapal serta bobot yang sesuai dengan kapasitas mesin?
Ah, sudahlah, itu terlalu jauh untuk saat ini. Nanti kita pertanyakan pula apakah pelabuhan di Danau Toba mengeluarkan izin setiap kali kapal-kapal hendak berlayar di sana. Coba kita kembali berpikir tradisionil untuk alat transportasi tradisionil yang tak beda jauh dengan angkot ini.
Saya tentu berpendapat bahwa standar keselamatan adalah soal lain lagi. Kisah saya diatas memang terjadi delapan belas tahun tahun lalu tetapi kondisinya masih relevan dengan saat sekarang saking tidak adanya perubahan pada kapal-kapal di Danau Toba terkait kelengkapan dan gaya operasionalnya.
Radio komunikasi belum juga digunakan, life jacket juga tidak diwajibkan, apalagi flare gun. Dengan segala kesederhanaan dan pola tradisionalnya, semestinya keselamatan tetap harus diperhitungkan oleh para pemilik kapal.
Danau terbesar di Asia Tenggara itu bukanlah sekelas sungai atau danau biasa. Kedalamannya saja diperkirakan mencapai 500 meter dengan luas lebih dari 1.100 kilometer persegi ditambah cuaca yang sering berubah-ubah.
Ayah mertua saya saja beberapa kali melihat putaran angin semacam puting beliung di tengah danau. Belum lagi mitos-mitos mistis yang beredar di tengah masyarakat lokal. Sudah sepantasnya seluruh elemen transportasi di danau ini menganggap serius urusan jiwa manusia. Jika sepeda motor diwajibkan menggunakan helm dan mobil mengenakan sabuk pengaman, maka kapal di air haruslah dilengkapi dengan pelampung.
Jika radio komunikasi bisa digantikan telepon seluler sehingga diabaikan penggunaannya, setidaknya ada pistol suar untuk keadaan darurat. Jika manifest penumpang belum bisa dilakukan, paling tidak lifejacket atau lebih minimalis lagi, tube (ban dalam mobil atau truk) yang banyak disewakan di pinggir Danau Toba, haruslah tersedia sedikitnya separuh jumlah penumpang.
Namun hal yang sangat penting dan penyebab utama kecelakaan di Danau Toba selama ini adalah jumlah penumpang yang jauh melebih kapasitas ideal! Janganlah mengalah dengan berbagai kepentingan dan perasaan sehingga mengizinkan penumpang naik terlalu banyak.
Jika standar minimum keselamatan yang ideal belum dapat dilaksanakan, cobalah dulu hal yang terminimum dari yang minimum. Jika sudah terbiasa dalam dua atau tiga tahun, niscaya standarnya akan lebih mudah ditingkatkan untuk tahun-tahun selanjutnya. Orang yang kelaparan biasanya memesan terlalu banyak makanan dan ia tak mampu menghabiskannya.
Ribuan kali mondar-mandir dengan selamat sentosa di atas Danau Toba seakan menjadi legitimasi untuk pelanggaran-pelanggaran standar minimal keselamatan. Saya sendiri berkali-kali melihat kapal feri memaksakan (atau dipaksa penumpangnya yang mungkin pejabat) untuk memasukkan satu-dua kendaraan padahal kapal sudah penuh.
Sering separuh badan mobil yang terakhir menjulur keluar di atas pintu penutup yang dibiarkan terbuka. Kadang kala pihak pengelola kapal berbaik hati atau terpaksa mengizinkan penumpang masuk, bukan semata-mata karena serakah akan uang. Tetapi menolong orang lain kadang bisa menjerat leher sendiri.
Tragedi KM Sinar Bangun ini terjadi akibat budaya permisif yang terbangun selama ini. Pemilik kapal bersikap permisif terhadap kemauan penumpang yang ingin ikut meski sudah penuh ditambah kendaraan-kendaraan roda dua mereka yang seharusnya tidak masuk ke kapal penumpang. Pihak otoritas perhubungan juga permisif terhadap kelaikan kapal yang beroperasi secara komersil dan permisif terhadap ketidaklengkapan peralatan keamanan, terlebih permisif pula pada muatan yang melewati batas maksimum dan bertolak pada cuaca yang kurang bersahabat.
Ada teori yang menyebutkan bahwa manusia bisa menjadi iblis jika dibiarkan tanpa aturan. Manusia tidak selalu dapat diharapkan berlaku benar sesuai kesadarannya sendiri. Manusia adalah makhluk yang hidupnya harus dipagari peraturan dan mesti diawasi. Untuk memperbaiki buruknya kesadaran masyarakat pada transportasi di Danau Toba ini, dan untuk menyelamatkan ratusan nyawa penumpang di masa mendatang, pemerintah harus mengambil tanggung jawab untuk mengubah perilaku penyedia maupun pengguna jasa transportasi di Danau Toba. Tetapkan standar minimum lalu awasi tanpa toleransi. (berg)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H