di sekolah putih biru ada dua orang anak bernama Agatha dan Kivan mereka adalah pelajar sma, Kivan adalah salah satu anak orang kaya yang pemalas masuk sekolah berbeda dengan Agatha yang hidupnya penuh kesederhanaan.
Di suatu pagi pagi ketika Bu Guru mengabsen, beliau mengeluh. "Lagi-lagi Kivan tidak masuk. Ini sudah hari kedua. Siapa yang tahu ke mana dia?" tanyanya.
Tak seorang pun menjawab.
"Siapa yang tinggal dekat dengan rumah Kivan?" tanya Bu Guru lagi.
"Agatha, Bu!" sahut Zoe.
"Kalau begitu sepulang sekolah nanti mampir ke kantor. Ibu mau menitipkan surat untuk orang tua Kivan," kata Bu Guru kepada Agatha.
Agatha tidak berani menolak, meskipun sebenarnya ia enggan melakukan tugas itu. Rumahnya memang berdekatan dengan rumah Kivan. Bahkan persis berada di belakangnya.
Untuk menuju rumahnya, Agatha harus melalui gang yang terletak di sebelah kiri rumah Kivan. Jadi setiap pergi dan pulang sekolah, ia selalu melewati rumah Gedung yang bagus itu. Hanya saja gerbang masuk rumah Kivan berada di sisi jalan yang lain. Agatha perlu memutari jalan itu untuk ke rumah Kivan.
Akan tetapi, bukan itu alasannya tak pernah mampir ke sana. Agatha merasa agak segan pada anak itu. Kivan juga selalu bersikap acuh tak acuh bila Agatha lewat di samping rumahnya.
"Sudah disampaikan suratnya?" tanya Bu Guru keesokan harinya.
Iin mengangguk. Tak berani ia menceritakan hal yang sebenarnya.
"Tapi mengapa kivan belum juga masuk sekolah?" tanya Bu Guru lagi. "Apa dia sakit?"
Agatha menggeleng.
"Kalau begitu, tolong berikan surat Bu Guru kepada orang tuanya sepulang sekolah nanti. Mungkin surat yang kemarin belum sempat mereka baca." Kata Bu Guru.
Agatha mengeluh dalam hati. Lagi-lagi dia tidak punya keberanian untuk menolak. Kini pun kakinya gemetaran saat dia melangkah memasuki halaman rumah Gedung yang bagus itu.
"Surat lagi?" tegur Kivan yang sedang asyik bermain dengan anjingnya. "Sini biar ku robek."
Sesaat Agatha kaget mendengar sambutan Kivan. Ia tersinggung. Rasa marahnya timbul sehingga lupa pada ketidakberaniannya.
"Sombong!" katanya geram.
Dilemparnya surat Bu Guru ke kaki Kivan. "Tuh! Robek-robek sepuasmu. Agar besok aku lagi yang disuruh mengantar surat ketiga ke sini. Apa kamu tidak tahu kalau waktu ku terbuang gara-gara surat itu? Aku harus membantu ibuku, tahu! Orang tuaku tidak kaya. Karena itu, ibuku harus berjualan agar aku bisa sekolah. Tak seperti kamu. Kamu masih sanggup cari sekolah lain kalau kamu dikeluarkan dari sekolah kita. Orang tuamu, kan, kaya. Bisa membayar berapa saja untuk membayar sekolahmu!" tanpa Agatha sadari ia sudah menangis tersedu-sedu.
Kivan terpaku mendengarnya. Dia tidak mengerti mengapa Agatha bersikap seperti itu. Dia lebih tidak mengerti lagi ketika Agatha tiba-tiba lari meninggalkan rumahnya. Hatinya jadi tidak enak.
Semalaman dia tidak tidur. Bayangan Agatha yang menangis sesudah berteriak-teriak tadi terus mengganggunya.
Agatha juga tidak bisa tidur semalaman. Dia menyesal karena telah melampar surat itu ke kaki Reza. Seharusnya ia menyerahkan surat itu langsung kepada orang tua Kivan. Bukan membiarkan Kivan merobek-robeknya. Apa yang harus dikatakannya nanti kepada Bu Guru, bila beliau menanyakan surat itu? Ah....
Agatha jadi enggan ke sekolah. Pagi ini dia sengaja bangun berlambat-lambar.
"Sudah siang, tha. biar Ibu saja yang mengatur pisang itu. Kau berpakaianlah," kata Ibunya yang sedang menggoreng pisang.
Agatha menggeleng lemah, "Saya tidak sekolah, Bu," sahutnya dengan suara setengah berbisik.
"Tidak sekolah?" dahi Ibunya berkerut. "Kenapa? Ada rapat guru lagi?"
Agatha menggeleng, pipinya memanas. Tidak enak rasanya mengatakan hal yang sebenarnya pada ibunya.
Selama ini ibunya telah berusaha keras agar dia dan adik-adiknya bisa bersekolah dengan baik. Penghasilan ayahnya sebagai pegawai kecil tentu tidak mencukupi. Itu sebabnya ibunya menitipkan pisang goreng dan kue-kue di warung-warung yang ada di sekitar rumah mereka. ibunya juga menjual keripik singkong dan kacang bawang.
Karena itu, Agatha hampir tidak punya waktu untuk bermain. Ia harus membantu ibunya mengiris singkong dan mengupas kacang. Sebelum berangkat sekolah dia menitipkan jualan ibunya dulu di warung. Itu pula yang membuat dia selalu merasa rendah diri bila berhadapan dengan Kivan.
"Mbak Agatha dijemput temannya," lapor adiknya.
"Siapa?" tanya Agatha heran. Tidak biasanya temannya menjemput untuk berangkat bersama ke sekolah.
"Wah kau belum siap? Sudah pukul setengah 7, nih," Sebuah suara di belakangnya mengejutkan Agatha. Agatha menoleh dan... termangu.
Kivan telah siap dengan seragam dan tasnya.
"Maafkan sikapku kemarin, tha. setelah kupikir-pikir, aku memang salah. Kupikir orang tuaku tidak akan tahu karena mereka sedang berada di luar kota. Aku tidak sadar kalau perbuatanku itu telah menyusahkan kamu," kata Kivan malu-malu.
Mendengar pengakuan Kivan, Agatha tersenyum senang. Kini dia bisa sekolah dengan tenang tanpa harus memikirkan soal surat kemarin.
"Syukurlah kalau kau akhirnya mau sekolah," katanya lega.
"Itu sebabnya aku ke sini menjemputmu," sahut Kivan.
"Menjemputku? Bisanya kau diantar mobil," Agatha heran.
"Mulai hari ini aku akan jalan kaki bersamamu. Masih sibuk, ya?" Kivan berjongkok di dekat Agatha yang masih mengatur piring di atas nampan. "Sini kubantu. Kau berpakaian saja."
Kivan ikut mengatur pisang goreng itu meskipun Agatha dan ibunya berulang kali melarang. Akhirnya mereka membiarkan saja karena Kivan nampak senang melakukannya.
"Di rumah, aku tidak punya teman. Tidak punya kesibukan. Aku janji akan sering datang ke sini untuk membantumu. Tapi kau juga harus janji padaku," kata Kivan.
"Janji apa?"
"Janji akan membantuku mengejar ketertinggalan selama aku bolos. Mau, kan?" pinta Kivan.
Agatha mengangguk. Diam-diam dia merasa bahagia karena kini Kivan telah berubah. Semoga Kivan dapat menjadi anak yang begruna di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H