Agatha jadi enggan ke sekolah. Pagi ini dia sengaja bangun berlambat-lambar.
"Sudah siang, tha. biar Ibu saja yang mengatur pisang itu. Kau berpakaianlah," kata Ibunya yang sedang menggoreng pisang.
Agatha menggeleng lemah, "Saya tidak sekolah, Bu," sahutnya dengan suara setengah berbisik.
"Tidak sekolah?" dahi Ibunya berkerut. "Kenapa? Ada rapat guru lagi?"
Agatha menggeleng, pipinya memanas. Tidak enak rasanya mengatakan hal yang sebenarnya pada ibunya.
Selama ini ibunya telah berusaha keras agar dia dan adik-adiknya bisa bersekolah dengan baik. Penghasilan ayahnya sebagai pegawai kecil tentu tidak mencukupi. Itu sebabnya ibunya menitipkan pisang goreng dan kue-kue di warung-warung yang ada di sekitar rumah mereka. ibunya juga menjual keripik singkong dan kacang bawang.
Karena itu, Agatha hampir tidak punya waktu untuk bermain. Ia harus membantu ibunya mengiris singkong dan mengupas kacang. Sebelum berangkat sekolah dia menitipkan jualan ibunya dulu di warung. Itu pula yang membuat dia selalu merasa rendah diri bila berhadapan dengan Kivan.
"Mbak Agatha dijemput temannya," lapor adiknya.
"Siapa?" tanya Agatha heran. Tidak biasanya temannya menjemput untuk berangkat bersama ke sekolah.
"Wah kau belum siap? Sudah pukul setengah 7, nih," Sebuah suara di belakangnya mengejutkan Agatha. Agatha menoleh dan... termangu.
Kivan telah siap dengan seragam dan tasnya.