Dua minggu ini, keramaian sudah terlihat di toko-toko baju pinggir Jalan Trunojoyo Bandung. Awalnya dari Jl. Sultan Agung, terus melebar hingga di Jl. Trunojoyo. Kawasan Sultan Agung sudah dilarang maka mereka berjualan di sekitar Jl. Trunojoyo bawah hingga ke perlimaan, di atas.
Pakaian yang dijual berlabel anak muda. Tenda-tenda bongkar pasang itu menjajakan pakaian, dari atas hingga bawah.
Fenomena ini sudah ada jauh sebelum pandemi menimpa dan bahkan  tidak berkurang  banyak saat pandemi harus dijalani dengan semua prokesnya.
Darimana mereka datang? Dari mana-mana pasti.
Tapi, konon, kebanyakan memang yang sering memanfaatkan momen-momen semacam bazaar dan atau yang biasanya berjualan online.
Beberapa di antara mereka bahkan ada yang sengaja hendak memanfaatkan ilmu menejerial atau ekonomi yang didapat di bangku kuliah. Bisa sekalian menjadi semacam praktek kerja.
Tapi, yang seringkali membuat tanda tanya besar adalah para pembelinya. Darimana saja mereka itu, seperti makbreg berdatangan. Padahal kalau hari libur biasa, ramai juga, tetapi tida seramai dan seberagam menjelang lebaran begini.
Tentu saja, dengan mobilitas dobel begitu, jangan ditanya tentang bagaimana suasana di sana terutama kendaraan yang kebetulan melintas di sana.
Jangankan kendaraan, pejalan kaki biasa yang tidak berkepentingan untuk berbelanja pun akan merasa terganggu dengan kondisi yang mendekati hari H lebaran bisa berkali lipat padatnya. Luar biasa pokoknya.
Iseng saja suatu tahun saya ngobrol dengan PKL yang memang mangkalnya di sekitar sana. Bukan termasuk pedagang dadakan menjelang lebaran itu.
Mereka tentu senang dengan keramaian dan banyaknya orang hilir mudik di sana. Bisa ikut kecipratan rejeki. Kami ngobrol tentang darimana dan kenapa bisa orang-orang itu datangnya pas jelang hari raya begini.
"Mereka itu biasanya orang luar kotamadya, Neng... Memang sudah tahu sekitar sini banyak kdistro dan toko-toko baju gitu. Nah, kalau dapat duitnya darimana, selain mungkin udah nabung, ya THR... Kan minggu-minggu THR cair..."
Bener juga...
THR = Tanggungan Hari Raya
Berapa waktu lalu, sebelum segala keramaian seperti cerita di atas, pernah dengar tentang seorang pekarya yang tidak pernah happy kalau menerima THR.
Padahal THR pasti menjadi sesuatu yang selalu ditunggu oleh banyak pekerja. Tidak peduli jabatan atau posisi pekerjaanya sebagai apa.
Kenapa pekarya ini tidak happy mendapat THR? Bukan karena jumlahnya yang bisa jadi malah sedikit lebih besar dari gaji bersihnya dan bahkan mendapat tambahan sebagai tanda kasih.
Tetapi, uang tersebut akan segera habis untuk semua kebutuhan terutama kebutuhan hari raya. Tanpa sisa. Bahkan sekadar untuk menyenangkan diri sendiri misalnya, dia pasti tidak akan kebagian.
Yang seringkali membuat repot adalah ketika hari raya selesai dan THR habis termasuk sisa gaji, menuju tanggal muda pun masih cukup lama.
Uang tabungan juga sudah nyaris terkuras. Sementara kebutuhan tidak bisa dicuekkan begitu saja. Apalagi menyangkut kebutuhan hidup dan dapur.
Maka, satu-satunya cara untuk bisa bertahan hingga tanggal muda adalah dengan cara berhutang.
Hutang kepada siapa?
Selama ini si pekarya itu berhutang kepada atasannya. Bukan karena alasan mudah dan cepat. Tetapi juga, tuannya itu sangat tahu "kebiasannya" satu itu. Rada sulit dinasehati. Ada lebih banyak alasan yang akhirnya membuat si tuan luluh.
Hingga suatu hari, sang tuan sedikit memberi ancaman atas sebuah tindakan yang akan ia lakukan. Saat mau memberikan THR, ia hanya memberi 80% dari jumlah THR yang harus pekarya itu terima. Sisanya si tuan simpan. Bisa diambil setelah hari raya. Tidak ada potongan apa pun atas hal tersebut.
Seperti yang sudah diduga, ada penolakan dari si pekarya. Namun, dengan sedikit ancaman tidak akan boleh berhutang lagi plus dicoba disadarkan lagi dari kejadian sebalumnya, pekarya itu akhirnya menurut.
Yang dari awalnya menolak keras (ditambah dengan marah-marah juga) akhirnya tahun-tahun berikutnya, justru pekarya itu lebih memilih cara demikian.
Ia merasa terbantu saat kondisi tersebut berulang lagi. Kalau dulu dia kuatir nanti bagaimana dengan hidupnya dan keluarganya, sekarang setidaknya dia masih punya "pegangan" untuk bertahan hingga tanggal gajian tiba.
Sesaat mengingat itu, saya jadi kepikiran lagi dengan orang-orang yang lalu Lalang di sekitaran tempat belanja itu.
Apakah memang mereka berniat menghabiskan semua uang yang didapat, THR, gaji, tabungan, lalu tidak peduli nanti bagaimana, atau masih kepikiran bahwa THR itu sesungguhnya sebagian memang sebaiknya untuk ditabungkan demi menambah kebutuhan hidup?
(anj2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H