Maka, satu-satunya cara untuk bisa bertahan hingga tanggal muda adalah dengan cara berhutang.
Hutang kepada siapa?
Selama ini si pekarya itu berhutang kepada atasannya. Bukan karena alasan mudah dan cepat. Tetapi juga, tuannya itu sangat tahu "kebiasannya" satu itu. Rada sulit dinasehati. Ada lebih banyak alasan yang akhirnya membuat si tuan luluh.
Hingga suatu hari, sang tuan sedikit memberi ancaman atas sebuah tindakan yang akan ia lakukan. Saat mau memberikan THR, ia hanya memberi 80% dari jumlah THR yang harus pekarya itu terima. Sisanya si tuan simpan. Bisa diambil setelah hari raya. Tidak ada potongan apa pun atas hal tersebut.
Seperti yang sudah diduga, ada penolakan dari si pekarya. Namun, dengan sedikit ancaman tidak akan boleh berhutang lagi plus dicoba disadarkan lagi dari kejadian sebalumnya, pekarya itu akhirnya menurut.
Yang dari awalnya menolak keras (ditambah dengan marah-marah juga) akhirnya tahun-tahun berikutnya, justru pekarya itu lebih memilih cara demikian.
Ia merasa terbantu saat kondisi tersebut berulang lagi. Kalau dulu dia kuatir nanti bagaimana dengan hidupnya dan keluarganya, sekarang setidaknya dia masih punya "pegangan" untuk bertahan hingga tanggal gajian tiba.
Sesaat mengingat itu, saya jadi kepikiran lagi dengan orang-orang yang lalu Lalang di sekitaran tempat belanja itu.
Apakah memang mereka berniat menghabiskan semua uang yang didapat, THR, gaji, tabungan, lalu tidak peduli nanti bagaimana, atau masih kepikiran bahwa THR itu sesungguhnya sebagian memang sebaiknya untuk ditabungkan demi menambah kebutuhan hidup?
(anj2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H