Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ... karena menulis adalah berbagi hidup ...

saya perempuan dan senang menulis, menulis apa saja maka lebih senang disebut "penulis" daripada "novelis" berharap tulisan saya tetap boleh dinikmati masyarakat pembaca sepanjang masa FB/Youtube : Anjar Anastasia IG /Twitter : berajasenja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bolos

13 November 2021   10:12 Diperbarui: 13 November 2021   10:54 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
shutterstock_371395444

 Berkali-kali Resti mencoba konsentrasi pada buku pelajaran. Tapi, selalu gagal. Ejekan dan ajakan teman-temannya terus terngiang di telinganya. "Kenapa mesti takut, Res?" kata Regi hari itu.

"Kita kan udah gede. Sudah SMA."

"Takut kena marah mama ya?" ejek Dilla.

"Dasar anak mama. Begitu saja takut, enggak berani," tambah Fafa. Resti diam. Semua dugaan teman-temannya tadi enggak salah, tapi enggak juga benar. Bukan lantaran dia anak mama satu-satunya jadi penakut, tapi karena Resti enggak mau melihat mamanya sedih dan kecewa. Di lain pihak resti juga enggak mau mengecewakan teman-temannya. Selama ini dia dan ketiga temannya tadi selalu bersama.

"Ayo deh, Res. Sekali ini saja," bujuk Dilla lagi.

"Kalau kamu nggak dating juga, yah..., terpaksa deh kamu kita tinggal,"

Dan, Resti kini bingung harus memilih yang mana? Mama atau ketiga sobat dekatnya itu?

***

Pagi ini tidak seperti biasa Resti kelihatan lebih ceria. Senyum manis selalu berkembang di bibirnya. Orang-orang rumah sempat heran karenanya.

"Ma, Resti pergi dulu ya," pamit Resti seraya mengecup pipi kanan mamanya.

"Belajar yang baik ya, Res. Mama kepingin kamu jadi anak yang benar. Jangan mau ikut diajak teman-temanmu berbuat yang enggak benar ya?" pesan mama Resti.

Seketika wajah Resti sedikit berubah. Hatinya gundah. Biarpun mamanya tidak tahu apa yang bakal ia rencanakan hari ini, tapi seolah-olah mamanya sudah tahu. Resti jadi agak gugup sendiri.

"Lho, kok malah diam? Sudah sana, nanti terlambat," kata mamanya mengingatkan.

"E, Iya.. iya, ma. Resti berangkat dulu," jawab Resti terbata-bata.

Sesampai di sekolah, langkah Resti tertahan. Di hadapannya, terbentang dua jalan. Satu menuju halaman sekolahyang berarti dia masuk sekolah, belajar seperti biasa. Sedangkan satu jalan lain menuju pintu keluar sekolah melewati kantin, tempat ia janjian bareng ketiga temannya kemarin. Itu berarti...

"Halo, anak mama. Datang juga akhirnya."

"Iya, kita=kita hamper saja ninggalin kamu."

"Ini baru teman sejati. Suka duka bagi sama-sama."

"Tapi, kalian janji ya, jangan bilang sama mama dan hanya sekali ini saja," ujar resti pelan.

"Beres," jawab ketiga temannya bersamaan. Keempat cewek manis tersebut segera meninggalkan kantin sekolah. Masing-masing terlihat amat ceria. Rencana mereka hari ini terlaksana juga.

"Mau kemana kita, Gi?" Tanya Resti.

"Yah, kemana saja. Pokoknya senang-senang," jawab Regi ringan.

***

Sepanjang jalan menuju pusat pertokoan ini Resti, Fafa, Regi, serta Dilla amat menikmati suasana yang ada. Kecemasan yang tadi sempat hadir, sekarang lepas, lebur bersama suka cita hari ini. Pandangan orang-orang tidak dikhawatirkan mereka lagi. Malah sesekali ganti mereka yang menjahili orang. Pokoknya mereka berempat benar-benar cuek.

Ketika Resti cs sedang melihat-lihat gantungan kunci yang lucu-lucu di sebuah toserba mendadak mata Resti melihat seseorang. Dengan cepat ia menarik tangan Regi yang berada di sampingnya menuju tempat tersembunyi.

"Kenapa sih kamu?" Tanya Regi heran.

"Ada mama kamu?"

"Ssstt..., jangan keras-keras," jawab Resti sambil terus memandangi wanita tadi.

"Bukan mama tapi tante Mitha."

Dari toserba mereka menuju toko buku yang terletak di lantai bawah. Toko buku itu rupanya agak sepi dari biasanya, entah kenapa. Maka dengan leluasa mereka ke sana ke sini, bebas mencari buku yang diinginkan. Namun, tiba-tiba....

"Woy sembunyi -- sembunyi!" Bisik Dilla pada semua temannya.

"Kenapa sih?" Tanya Fafa merasa terganggu.

"Ada pak Pardan."

"Di mana?"

"Tuh, di bagian sastra dekat tembok pojokan itu."

"Mateng nggak lho!" seru Fafa tidak keras. Tanpa dikomando dua kali, masing-masing anak mencari tempat persembunyian di antara rak-rak buku.

"Gila! Ngapain Pak Pardan ke sini?" Tanya Regi cemas.

"Mau nangkap kita kali," tebak Resti sembarangan.

"Ssssttt... diam! Pak Pardan mau lewat sini," bisik Dilla kembali. Serentak keempat cewek itu lebih merundukkan tubuh di balik rak-rak buku. Ketegangan terkias di wajah mereka.

Masing-masing berdoa, moga-moga Pak Pardan tidak ke tempat di mana mereka berada. Untunglah, Pak Pardan cuma lewat saja. Dengan nafas lega akhirnya mereka berempat keluar dari tempat persembunyiannya walaupun disertai pandangan serius dari satpam toko buku ini.

"Gila! Sudah berapa kali kita hamper kepergogk?" Tanya Dilla sendiri sesampainya di cafeteria.

"Gua hamper ketahuan Tante Mitha betet tadi," jawab Resti sambil mengibas-ibaskan bukunya karena kepanasan.

"Lha, gua hampir ketahuan kakak gua," jawab Fafa nggak kalah seru.

"Kok enggak kamu omongin ke kita, Fa?"

"Gua pikir, entar kamu-kamu malah ketakutan kalau diceritain. Bisa-bisa acara kita jadi berantakan deh."

"Tapi, ketahuan nggak, Fa?" tanya regi penasaran.

"Untung nggak deh. Kaka gua waktu itu bareng doinya, di sebrang jalan pula."

"Hhhh...," desah keempatnya lega.

"Resti hamper ketahuan Tante Mitha-nya, Fafa nyaris kepergok kakaknya. Terus, kita semua hamper ketahuan Pak Pardan. Benar-benar enggak mulus ini acara," cerocos Dilla kesal.

"Halo adik-adik manis. Bolos ya?" sebuah suara berat mengejutkan mereka semua. Keempatnya menoleh kearah suara. "Kok bengong? Kaget?" kata pemilik suara itu lagi.

"Ka... ka... kakak siapa dan kenapa tahu kalau kami bolos?" Tanya Fafa memberanikan diri.

"Ooo... jelas tahu dong. Saya kan orang sini juga. So, tahu persis kapan jam -- jam sekolah dan kapan jam-jam anak sekolah bubaran," jawab pemuda yang mereka panggil dengan sebutan kakak tadi.

Resti, Fafa, Dilla, dan Regi diam mendengar penjelasan pemuda ceking itu. Keempatnya jadi serba salah. Mereka bingung.

"Enggak usah kaget, cuek saja. Percaya deh kalau saya bukan siapa-siapa atau orang bayaran yang disuruh mengintai kalian. Saya orang biasa kok. Swear banget." Pemuda itu menyakinkan keempat cewek berseragam putih abu-abu di hadapannya seraya menyalakan sebatang rokok.

"Boleh saya duduk bersama kalian di sini? Kita ngobrol-ngobrol."

"Silahkan," jawab keempatnya nyaris bersamaan dengan takut-takut.

"Terima kasih." Pemuda tadi duduk di samping Fafa. Lalu dengan enaknya ia menghisap sigaretnya dalam-dalam. Tampang pemuda yang kini duduk di samping Fafa ini memang lumayanlah. Sepertinya juga termasuk anak orang berada. Terbukti dengan kunci mobil yang ia letakan begitu saja di meja. Perasaan khawatir dan takut sedikit hilang dari hati keempat sekawan itu setelah yakin gelagat pemuda itu tampaknya baik-baik saja.

"Kakak sekolah dimana?" tanya Fafa lagi.

"Saya? Ooo... enggak lagi," jawabnya enteng.

"Kenapa?" "Malas saja. Samalah dengan kalian. Kalian bolos juga karena malas kan? Pasti kalian ABG yang baru masuk SMA ya? Pengen nyoba-nyoba bolos gitu?" disudutkan begitu Resti cs diam saja.

"Lalau, apa kerja kakak sekarang?" kali ini Regi yang bertanya.

"Ya, begini saja. Duduk, nongkrong dan kenalan dengan anak-anak manis seperti kalian," jawabnya diiringi tawa lepasnya.

Sekonyong-konyong ada rasa takut menyelimuti Resti. Dia jadi ingat Mbak Tiani tentang remaja putri yang sering terjerumus ke lembah hitam, salah satunya karena pergaulan bebas. Resti jadi khawatir, jangan-jangan orang macam pemuda ini yang....

Dan Restipun berkeinginan untuk segera pulang. Apalagi dirasakan Fafa terus menggeserkan duduknya karena pemuda ceking itu terus pula mendesak fafa sambil sesekali mencoba memegang....

***

Malam baru turun menutupi bumi. Di kamarnya, resti tengah merenungi segala peristiwa yang hari ini baru saja dilalui. Pemuda ceking tadi ternyata seorang perusuh yang sering membuat keonaran sekitar pertokoan tersebut.dia juga sering iseng mengganggu para remaja putri yang kebetulan dijumpai. Untung saja petugas stpam supermarket segera dating ketika Fafa menjerit.

Rupanya dia memang telah lama diincar. Resti dan kawan-kawannya pun lolos dari keisengan pemuda lajang itu. Semua bisa bernafas lega terutama Fafa yang terlihat paling pucat.

Ahh. Resti kapok melakukan hal yang tidak terpuji ini. Selain telah membohongi mamanya, Resti juga hampir mencelakakan dirinya sendiri. Sekarang, dengan saksi malam yang sepi, Resti berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Terserah kalau teman-temannya bakal mengatakan dia anak mama. Pokoknya Resti tidak mau mengulang untuk kedua kalinya.

Tanpa sepengetahuan Resti, ketiga sahabatnya pun mempunyai janji yang sama.

(Majalah KAWANKU no 47/XXIV, Juni 1995)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun