"Kok enggak kamu omongin ke kita, Fa?"
"Gua pikir, entar kamu-kamu malah ketakutan kalau diceritain. Bisa-bisa acara kita jadi berantakan deh."
"Tapi, ketahuan nggak, Fa?" tanya regi penasaran.
"Untung nggak deh. Kaka gua waktu itu bareng doinya, di sebrang jalan pula."
"Hhhh...," desah keempatnya lega.
"Resti hamper ketahuan Tante Mitha-nya, Fafa nyaris kepergok kakaknya. Terus, kita semua hamper ketahuan Pak Pardan. Benar-benar enggak mulus ini acara," cerocos Dilla kesal.
"Halo adik-adik manis. Bolos ya?" sebuah suara berat mengejutkan mereka semua. Keempatnya menoleh kearah suara. "Kok bengong? Kaget?" kata pemilik suara itu lagi.
"Ka... ka... kakak siapa dan kenapa tahu kalau kami bolos?" Tanya Fafa memberanikan diri.
"Ooo... jelas tahu dong. Saya kan orang sini juga. So, tahu persis kapan jam -- jam sekolah dan kapan jam-jam anak sekolah bubaran," jawab pemuda yang mereka panggil dengan sebutan kakak tadi.
Resti, Fafa, Dilla, dan Regi diam mendengar penjelasan pemuda ceking itu. Keempatnya jadi serba salah. Mereka bingung.
"Enggak usah kaget, cuek saja. Percaya deh kalau saya bukan siapa-siapa atau orang bayaran yang disuruh mengintai kalian. Saya orang biasa kok. Swear banget." Pemuda itu menyakinkan keempat cewek berseragam putih abu-abu di hadapannya seraya menyalakan sebatang rokok.