....aku ingin mencintaimu...
melewati batas lautan kehidupan,
melengkahi jeruji ungkapan manusia,
menantang keganasan,
suara-suara tak bertuan...
 ...aku ingin mencintaimu...
dengan bibir tanpa puisi,
dengan lagak tiada arti,
dengan kekonyolan sehari-hari
Dan, aku ingin mencintaimu
 ... cuma ingin...
MENCINTAIMU
(beraja, biarkan ku mencinta, Grasindo 2002)
Â
Novel "beraja" dan Adik-adiknya
Tahun 2003 adalah tahun terbahagia saya atas terwujudnya obsesi sekian lama. Tahun itu, novel pertama saya terbit (meski tahun terbit November 2002), berjudul "beraja, biarkan ku mencinta" diterbitkan oleh Gramedia Widiasarana (Grasindo)
Tak terkira betapa bahagianya saat itu. Saat pertama memegang buku itu, wuiiihh... Bahagia dan bangga tak terkata. Bahkan ibunda alm yang waktu itu masih sempat memegang buku itu, berulangkali menyiratkan bahagianya dengan pancaran mata dan ketidakpercayaan pada saya yang bisa mewujudkan cita-cita punya buku.
Luar biasa pokoknya.
Perjalanan saya dari penulis cerpen lokal, menjelalajah media terbitan ibukota hingga bisa menerbitkan novel itu adalah sesuatu yang hingga kini membuat saya seringkali masih bertanya, "Bisa juga si Anjar ya..." . Perjuangan panjang hingga sampai di titik itu.
Lalu, apakah perjuangan saya sudah puas atau kelar saja sampai di situ?
Tentu saja tidak.
Selain, justru novel beraja menjadi seperti pintu pembuka untuk terbitnya novel-novel saya berikutnya, secara khusus cerita yang ada di dalam novel itu malah jadi berkembang dan menghasilkan dua novel lagi sebagai kelanjutnya.
Novel kedua untuk menjawab beraja adalah "Renjana, yang sejati tersimpan di dalam rasa" , diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (GPU) dan yang ketiga untuk menjawab beraja dan Renjana adalah "#daksa, Bahagia tak semata raga", diterbitkan oleh Elex Media Computindo secara digital (dan akan POD).
Jarak waktu ketiga novel itu pun lumayan jauh.
Kalau novel "beraja" diterbitkan November 2002, novel "Renjana" Desember 2013 dan "#daksa" Januari 2021. Ini semua bukan kesengajaan atau sebuah strategi tertentu, tetapi karena mengingat respon pembaca dan lebih utamanya sebab dari sejak awal "beraja" saya tulis adalah sebagai refleksi saya pada banyak hal terutama hidup diantara para orang berjubah.
Kenapa Ada "Renjana"? Kenapa Ada #daksa?
Aku menemukan hatimu di antara deras hujan memudarkan warnanya.
Semula memang tak terlihat.
Sebab rintik hujan lebih memendarkan gelap mendung.
Sampai ketika rinainya berkurang lalu menguraikan nama yang kemudian kutahu.
Itu namamu....
 Padahal tiap saat kupandang senja, berharap warna jingga
menghantarkan sebuah nama
yang telah disediakan sekian lama, dinanti menempuh mimpi.
 Mungkin ia pernah menari-nari di awan putih.
Siratan biru yang menyertai, ternyata tak mampu buat mataku menangkap
bahkan membiarkannya tak terlihat.
 Dan, ketika hujan menghaturkannya di antara batas senja
terpengkurlah aku tak berkata.
Ternyata ia tak pernah lekang menyimpan namaku
lekat di hatinya, walau sesiang pernah menyertakan debu
yang kumau
bisa kutepiskan, tiada ragu.
(Renjana, yang sejati tersimpan di dalam rasa, GPU 2013)
Â
Dari awal "beraja" lahir, sama sekali tidak terpikirkan oleh saya untuk membuat serialnya. Tetapi, cerita tentang Romo Daus dan Ola yang memang dibuat ngambang, membuat orang banyak bertanya. Bahkan, percaya tidak percaya, "beraja" menjadi pengawal beberapa Frater (calon Pastor Katolik) yang sedang menempuh pendidikan imamatnya hingga menajadi seorang Imam. Maka mereka pun ingin cerita dari "beraja" itu dilanjutkan.
Ketika memutuskan untuk membuat "Renjana" sudah bilang kepada para pembaca, bahwa cerita itu sudah cukup sampai di situ saja. Tidak ada kelanjutan kisah Romo Daus yang memesona para pembacanya itu.
Tapi... Seorang pembaca sempat kirim pesan begini, "Njar, kan di Renjana lebih ke Romo Dausnya nih. Tokoh lain gimana? Apalagi Ola... Sayang loh klo nggak dilanjutin."
Pesan itu membuat saya berpikir betul. Menimbang perlu tidaknya dilanjutkan. Termasuk juga pesan dari seorang adik yang sedang meneruskan kuliah di China, penggemar "Neng Ola", agar saya menuliskan sekali lagi tentang tokoh idolanya itu. "Neng Olanya digarap dong, Mbak... Dia itu presentasi baik dari sebuah arti persahabatan antara laki-laki dan perempuan terutama antara biarawan dan awam."
Didukung oleh seseorang yang sangat berarti yang saya panggil  Mas Renjana, jadilah #daksa awal saya buat. Benar-benar untuk menjawab keinginan orang-orang yang demikian memerhatikan dan mencintai "beraja" dan "Renjana". Cerita awal #daksa itu bisa dibilang imajinasi saya dengan tambahan masukan dari mereka yang mengusulkan, terutama sang pecinta "Neng Ola".
Seiring novel semakin bertambah halamannya, saya justru menemukan banyak peristiwa yang membuat saya lebih dalam berefleksi dan merenung tentang kehidupan. Kisah Romo Firdaus yang seolah dari luar selalu penuh berkat dan rahmat, mendadak saya dapati dari seorang biarawan yang kala itu juga sedang gundah. Memilih untuk hidup di luar biara sementara supaya bisa menentukan bagaimana kelanjutan panggilannya. Nasib Wyllie Samudra alias Wie yang sedang berbahagia dengan istri dan anak-anaknya, tiba-tiba saya lihat sebagai cermin dari sebuah keluarga yang ternyata tidak selamanya harmonis. Ada ego manusia bermain diantara komitmen hidup perkawinann mereka.
Demikian juga cerita Tra Laksmi, gadis lugu yang rajin membuat puisi, pekarya biasa yang kadang dilupa keberadaannya, ternyata layak menemukan kebahagiaan pribadi. Meski tetap saja keluguannya itu membuatnya tak sepenuhnya mengerti, hidup Tra malah menjadi refleksi tersendiri.
Lalu, Carolina Wibowo alias Ola, perempuan nyaris sempurna itu bagaimana?
Tetap kekeuh tidak mau menikah sebagai bukti cintanya pada Romo Daus? Padahal ada Faiz, mantan santri yang selalu bisa membuatnya tertawa dan menghidupkan dunianya yang sempat tak berwarna, sedang mendekati dengan keberanian menerjang segala perbedaan suku, agama dan usia.
Ada juga Daru yang menjadi perhatian dalam #daksa. Seorang mengaku homoseksual, tetapi tetap ingin menjalani semua risikonya meski ia harus iklas mendapat konsekwensi atas kehidupannya yang sempat serampangan, semaunya sendiri. Sebagian diri Daru adalah kisah nyata dari seorang sahabat yang ingin orang lain bisa mendapat hikmah dari kisahnya.
Semua banyak kisah manusia ini menjadikan #daksa bisa dibilang adalah sebuah perjalanan hidup. Bukan melulu tentang tahun terbitnya yang panjang itu, tetapi juga bagaimana saya bisa belajar banyak dari para tokoh yang tidak mungkin sebenarnya ada di sekitar kita.
Berharap, jika Anda membacanya pun, dapat merasakan kebahagiaan, kedalaman, harapan baik, kelucuan bahkan juga gundah gulana, kekecewaan, kebingungan serta kesedihan yang tidak bisa sekadar terucap. Dengan demikain semoga bisa ada pemahaman tentang arti pilihan hidup dan bagaimana menghormatinya.
Sinopsis #daksa , Bahagia Tak Semata Raga
Â
Daksa adalah tubuh. Tubuh yang mengantarkan sebuah harapan dan rasa Firdaus, Ola, Wie dan Tra sekian lama. Kisah panggilan hidup Romo Firdaus yang pasang surut, ditampung dalam hangat persahabatan seorang Ola ternyata masih belum juga mampu menguatkan kedua kaki untuk bertahan. Daus memilih sesaat melepas segala penat hidup di luar. Padahal tantangan, tak kalah lelah saat 15 tahun mempertahankan jubah.
Nun di sana, Ola, sang cinta pertamanya, mulai mengepak sayap. Ia sudah bisa memahami hidup yang harus terus disuburi dengan banyak keindahan. Termasuk kedatangan Athafariz, mengoyak renjana lama. Segala beda mereka cuma bisa dilengkahi saat #daksa mau sungguh terima. Apa adanya.
Sementara Wie dan Tra sudah bahagia dengan masing-masing belahan jiwa. Walau tersisa nukilan puisi lama yang nyatanya tak bisa hilang. Bahkan ketika salah satu dari mereka mulai mempertanyakan, kenapa aku harus memilih yang sekarang. Bukan yang lama?
Lalu bagaimana Daus kembali mengolah rasa saat daksanya terus berontak sementara sang penguat telah menemukan cintanya? Masihkah Ola bisa menjadi penghangat sang beraja yang sedang gundah pada panggilan hidup? Nampaknya, beraja lama itu masih bertahta. Maka tak aneh juga kalau Wie masih memendam rasa lamanya pada Tra walau mereka tak pernah bisa bersama.
Selamat membaca. (anj21)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H