"Kamu punya anak Dok?" Rina kaget.Â
" Sepertinya begitu. Aku juga tidak begitu ingat, hanya saja secara medis aku memang terbukti pernah punya anak." Sinta menangis. " Tetapi aku tidak ingat detailnya. Apakah dia laki-laki atau perempuan, apakah dia hidup atau mati, ditahun berapa dia lahir, semua nya menjadi tidak jelas buatku. Tidak seorangpun pernah bercerita tentangnya. Sampai pada akhirnya, dua tahun lalu aku memohon rumah sakitku yang lama untuk memindah tugaskanku ke sini. Ya, dulu aku asli sini. Dan panggilanku bukan Sinta tetapi Robiah. Abangku memintaku untuk menyingkat nama Robiahku menjadi R. Makanya namaku di ID card jadi Sinta R." Sinta mendorong tubuhnya ke depan. " Jangan bilang siapa-siapa mengenai ini, ini rahasia kita."
Rina justru menemukan sisi lain dari Sinta. Sisi gila dari seorang dokter yang baik hati. " Bagaimana kamu bisa jadi dokter kalau kamu pernah melahirkan lima belas tahun lalu? Aku rasa saat itu kamu masih kuliah."Â
" Itulah kelemahanku, aku hanya mampu mengingat masa kuliahku sebagai mahasiswa kedokteran. Aku tidak bisa lagi mengingat masa-masa sebelum itu. Kecuali hari dimana aku melahirkan anakku dan di dampingi oleh Adikku. Ya, aku punya seorang adik yang usianya dua tahun di bawahku. Dia sekarang memiliki dua orang anak."
Rina merasa tertarik mendengarkan cerita Sinta. Namun suara gawai Sinta berdering. " Ya, ada apa?"
" Kamu gak pulang?"
" Aku pulang sebentar lagi."
" Ayo Rin, kita kembali. Aku sudah dipanggil pengasuhku." Sinta membopong Rina.
" Suamimu?" Tanya Rina.
" Bukan, dia Abangku." Sinta tersenyum. " Dia memang sering bawel kalau aku terlambat pulang. " Aku tidak menikah."
****Â