Nampaknya Rina masih belum bisa melepaskan pelukannya, sampai beberapa menit kemudian. Rozipun menyadari betapa belakangan dunia berbalik memusuhi Rina dengan kejamnya. Dunia yang sebelumnya memuja kehebatan, kecerdasan, dan kecantikan parasnya itu menyimpan magma yang siap terlontar ketika terdapat sedikit celah untuk dimuntahkannya. Rozi bingung mencari kata yang tepat untuk menenangkan Rina. " Keprihatinan saja tentu tidak akan cukup untuk menyelesaikan permasalahanmu. Aku akan sedikit memberikan cerita tentang seorang sahabat kecilku." Rozi mencari pegangan untuk dapat menceritakannya. Dia menunggu respon Rina atas perkataannya.Â
Rina mengangkat kepalanya dan kemudian menghapus air matanya. Kali ini Rina menggeser tempat duduknya ke samping tempat duduk Rozi. " Aku tidak peduli jika ada orang yang kedekatan kita." Rina kembali menangis. " Dulu aku sangat malu ketika temanku mengetahui bahwa kamu adalah saudaraku. Sekarang aku sangat bangga, mengetahui kamu menjadi satu-satunya pembelaku."Â
***Â
13 hari sebelumnya
Saat suara ayam pertama kali berkokok terdengar, Sinta memasuki kamar Rina. Dia duduk di samping Rina sambil mengelus keningnya. " Semoga kamu lebih kuat." Sinta tidak dapat menahan tangisnya.Â
Rina terbangun dari tidurnya dan mencoba mengenali sosok di depannya. "Dokter, ngapain kamu di sini?" Ucap Rina kaget.
" Aku hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja. Dan nampaknya mukamu memar semua." Sinta mencoba mengobati luka Rina.
" Mengapa lampunya dibiarkan Mati?"
" Aku tidak ingin membangunkan Ibumu." Sinta menarik napas, menahan tangis. " mau kah kamu keluar bersamaku?"Â
" Dengan senang hati."Â
Keduanya berjalan keluar menuju kantin. Mereka berdua duduk berhadapan. " Jikapun anakku dulu hidup, pasti sekarang sudah seusiamu na." Sinta tersenyum.Â