Gambaran dirinya tampak jelas terpampang dalam cermin persegi yang ditempel pada pojok kiri kamarnya di dekat jendela kayu yang tiap pagi dibukanya usai menunaikan sembahyang fajar. Dari tempat tidurnya, Roziqin berdiri meninggalkan istrinya yang sudah jauh berkelana bersama riak kehidupan bawah sadarnya. Dia mendekatkan dirinya pada cermin yang sebelumnya menampilan bayangan dirinya utuh. Sekarang, bayangannya yang tampak di cermin hanya separuh dari tubuhnya.Â
Matanya beradu dengan mata bayangannya. " Hei, orang dalam cermin." Panggilnya sambil menarik napas panjang. " Kau telah banyak membantu orang agar dapat menjadi orator ulung. Sekarang, aku akan memintamu untuk membantuku kembali menjadi orator hebat." Roziqin tersenyum.
Dia mengeluarkan selembar kertas dari laci meja rias istrinya yang berada di samping kanannya. Dia buka kertas itu dengan tangan kanannya hingga tampak  tulisan tangan miliknya. Lembaran kertas itu dipindahkannya ke tangan kiri dan tangan kanannya mengambil Peci yang digantungkan di dinding dan mengenakananya di kepala. " Sudah siap." Gumamnya dalam hati.
"Dengan rahmat Tuhan yang Maha esa, kita  berkumpul di sini untuk menghadiri pembukaan Latihan Dasar Organisasi kita." Roziqin merasa kurang puas dengan nada tinggi -- rendah suaranya. Kurang lebih tiga kali dia berdeham dan kemudian mengulang-ngulang kalimatnya untuk menemukan nada yang tepat.  Namun, ingatannya pergi meninggalkan kesadarannya.
Roziqin mengingat pidatonya pada minggu lalu yang tidak seorangpun mendengarkannya. Dia terasa masih berada di depan hadirin yang abai pada materi yang telah seminggu sebelumnya dipersiapkannya. Keringat dinginnya tiba-tiba keluar dan tubuhnya gemetar. Roziqin kembali menatap sepasang mata dalam cermin. Dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bakal mampu kembali seperti dulu, seorang orator ulung.
***Â
Tinggal di sebuah kota santri kecil yang terletak diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Roziqin kecil tumbuh dalam budaya agama yang sangat kuat. Berkat itu pula, Roziqin kecil  mendapat kesempatan untuk menimba ilmu agama sejak masih duduk di kelas satu sekolah dasar. Sehingga pada saat memasuki Sekolah Menengah Pertama, Roziqin telah mampu menguasai ilmu Fiqih imam Syafi'i baik Karya lamanya ataupun yang baru.
Mengetahui kemampuan Roziqin kecil yang cukup menonjol dalam bidang fiqih, pihak pesantren tempat dia mengaji memutuskan untuk mengikutkannya dalam lomba da'i yang diadakan oleh pemerintah kabupaten. Pada awalnya, Roziqin menolak. Namun setelah mendapatkan paksaan dari kedua orang tuanya, akhirnya Roziqin kecil menerima permintaan pesantrennya.
Siang harinya sepulang dari sekolah, Roziqin kecil dikagetkan dengan keberadaan sebuah cermin yang ukurannya separuh dari tinggi badannya dan di taruh di samping jendala. Merasa cermin itu bukan miliknya, Roziqin kecil melempar tasnya ke atas kasur dan berlari keluar mencari Ayah atau ibunya.Â
Waktu itu, Ayahnya sedang bersantai di ruang tamu, ketika Roziqin pemalu itu tergopoh-gopoh panik. Roziqin menghampiri Ayahnya.
" Yah, itu di kamarku kok ada cermin?"