Sika sebagai seorang yang hidup di Galeri itu selalu merasa sebagai orang yang paling tidak berguna. Dialah satu-satunya penghuni yang tidak memiliki keahlian seni sama sekali. Jika Dwi, pandai memainkan musik, Rembayung pintar melukis dan fotografi, sinta pintar menulis cerita.
"Aku bangga dapat bersama kalian di sini." Ujar salah seorang tamu.
Semuanya merapat dan memberikan sulang.Â
Ketika makanan telah habis dan semua orang mulai teler. Saat itulah, Dwi mulai menyadari bahwa terdapat Unggahan di internet yang menyerang mereka. Dan belum berselang lama dari itu, terdengar suara pintu kamarnya di ketok oleh seseorang.
"Permisi, kami dari petugas kepolisian!" Teriaknya yang terdengar dari kotak penerima suara di dekat pintu.
Dwi tergopoh-gopoh untuk memebuka pintunya dan saat dia sudah mendekati pintu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Nampaknya para petugas kepolisian itu telah membuka pintu kamarnya dengan paksa. Mereka masuk dengan kondisi siaga, senjata lengkap yang diacungkan ke kepala Dwi. Dwi Kaget. Dia mencoba untuk mengendalikan dirinya.Â
" Cepat angkat tangan kalian!" Perintah salah seorang petugas yang tampak dihormati oleh lainnya. "Berbalik sekarang!"Â
Semuanya mengikuti perintahNya, Kecuali dwi yang masih tenang menatap mata polisi yang mengacungkan senjata ke kepalanya. " Jika kalian melakukannya, tentu aku akan membanasakan kalian. "
Seorang yang berpakaian preman tiba-tiba mendatangi Dwi dan memukulnya hingga Dwi terduduk. " Tutup mulutmu!" Bentaknya.
Mereka dikumpulkan di pojok dekat jendela. Sika memilih duduk di tempat yang paling dekat dengan jendela, Rembayung dan sinta melindungi di belakangnya sedangkan yang lainnya mengelilingi mereka. Sika ketakutan, keringatnya mengalir deras. Pikirannya melayang jauh ke masa lalu nya menampilkan serpihan-serpihan masa lalu yang ingin selalu dipendamnya.Â
Kolam itu kelihatan dari tempatnya berada. Nampaknya, terdapat sebuah pesta di tepi kolam. Tampak beberapa anak muda menari dan berteriak dengan riangnya. Seperti halnya dirinya dulu saat baru lulus SMP, saat dia, Sinta dan Rembayung merayakan kelulusan di Sungai belakang rumahnya. Tiba-tiba air mata Sika mengalir deras. Dia merasa sudah tidak lagi mampu menampilkan potong demi potong kenangannya itu.