Aku duduk di sampingnya, memegang tangannya. Namun tiba-tiba tengah malam itu suasananya berubah melankolis. Suara tangis dari kerabat yang ditinggal mati terdengar merdu dan menyejukkan. Suara napas Yani yang teratur terdengar bagaikan seorang sufi yang sedang meniupkan seruling dalam kemabukannya. Andaikan tidak di rumah sakit, tentu malam itu akan aku lewatkan dengan menari riang.
Aku menatap mata Yani yang masih belum terbuka. Aku teringat bagaimana mata itu dulu menghipnotisku dan membiarkan kami tumbuh dengan penuh semangat. Mata cerah yang kerap kali menggoda banyak perempuan, mata elang yang di dalamnya selalu terbesit nyala api perlawanan. Mata yang dapat mengetahui sesuatu yang terjadi dengan sempurna walaupun jauh.
***Â
Para guru membuat pengumuman di majalah dinding sekolah tentang awal kehancuran masa depan kami. Bahwa kami akan mendapat karma atas pelecehan harga diri mereka dan tindakan abai kami lainnya. Para guru itu telah membuat banyak pernyataan di hadapan adik-adik kelas kami, bahwa kami tidak akan pernah lulus dari sekolah dan mereka tidak akan mau bertanggung jawab atas kegagalan kami. Begitulah laporan yang kami terima dari sepupu Yani.
Perkataan guru itu justru membuat kami semakin semangat untuk berjuang lulus dengan upaya kami sendiri. Bukan atas berkah, mukjizat ataupun hal-hal unlogis lainnya. Maka hari itu juga, saat Ujian nasional kurang dua minggu lagi. Semua kegiatan belajar mengajar difokuskan di rumah Mail.
Yanilah yang merubah rumah mail menjadi semacam pesantren kilat. Tiap kelompok belajar di kamar yang berbeda dengan seorang mentor yang telah disiapkan Yani pada malam harinya. Siang hari saat proses belajar mengajar, Yani hanya berperan layaknya seorang mandor, mondar-mandir memantau pekerjaan kami.Â
***Â
Yani membisikiku " kenapa kita harus mati ?"
" Mungkin karena Tuhan tidak ingin kita jauh darinya."
" Dia selalu bertindak sesukanya."
Kami berdua tertawa bersama. "Kamu ingat saat karma kita ditunda olehnya?"