Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Catatan Pojok Kota Sydney

18 Februari 2019   13:56 Diperbarui: 19 Februari 2019   12:24 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkahku lebih ringan dengan botol itu di tangan. Akan kubuka sebentar lagi di kereta. Sudah hampir jam berangkat, aku harus segera ke peron agar tak terlambat. Bergegas aku mencari elevator menuju stasiun bawah tanah yang menurut Google Map ada dekat sini, di depan Gedung Parlemen.

Itu dia! Kutemukan lift itu, tersembunyi dalam sebuah ceruk di dinding gedung tinggi, tepat di seberang Gedung Parlemen. Bergegas kuberlari kesana, mengejar kereta.

Aku berbelok memasuki ceruk tempat elevator itu berada... dan dihadapkan pada pemandangan mengenyuhkan hati. Seorang nenek tua, sangat tua dengan rambut putih beruban dan kulit keriput dipenuhi bercak-bercak cokelat karena usia. 

Ia terduduk di tanah berbalut berlapis-lapis baju tebal untuk melawan angin dan cuaca. Walaupun siang ini cuaca panas, tapi angin tetap kencang berhembus dan tentunya berat bagi tulang-tulang tua wanita itu menahannya. Di sekitarnya tersebar beberapa tas dan keresek berisi pakaian dan sedikit barang pribadi yang dimilikinya.

Wanita tua ini seorang tunawisma. Tak punya rumah ataupun sanak yang mengurusnya.

Seorang menyenggol bahuku dari belakang. Seorang pria berpakaian rapi, bak pejabat tinggi negeri, melewatiku sambil sibuk berbicara di telepon genggam. Baru kusadari, beberapa orang dari tadi sudah masuk ke stasiun lewat elevator ini. 

Pria dan wanita berpakaian rapi, dengan jas dan blazer sutera berbagai warna, dasi satin dan sepatu kulit yang disemir mengilap. Mungkin mereka pejabat. Birokrat. Bahkan bisa jadi seorang wakil rakyat yang ngantor hanya di seberang jalan. Dan semuanya hanya lewat. Tidak ada yang melirik pada wanita tua tunawisma yang hanya teronggok di pojok kota. Di ceruk kecil tersembunyi dari pandangan, tersembunyi dari peradaban. Menua dan membusuk sendirian. Tak ada yang memedulikan.

Aku jadi teringat kata-kata seorang temanku yang tinggal di Sydney yang kutemui di hari pertama. Ia berkata, "Orang disini tak suka memberi. Tunawisma itu sudah mendapat santunan dari negara dan mereka sudah membantu tunawisma itu dengan membayar pajak. 

Uang mereka adalah hasil jerih payah sendiri, milik sendiri. Lagipula, banyak tunawisma itu yang jadi tunawisma hanya karena malas bekerja, mereka pemabuk atau pecandu narkoba. Kalau kau beri mereka sesuatu, mereka hanya akan datang lagi esok hari. Meminta lebih."

Tapi bagaimana dengan tunawisma di depanku ini? Apa benar wanita tua ini pemabuk atau pemadat? Bisa kerja apa dia dengan tubuh serenta itu?

Kupandang botol air dingin di tanganku. Air dingin yang kuterima cuma-cuma karena kebaikan orang. Kulihat lagi wanita tua itu, yang memejamkan mata, tak bisa dibedakan tidur atau mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun