Hari ini panas. Suhu hari itu mencapai 34 derajat Celsius, yang terpanas dalam seminggu ini. Bahkan bagiku, yang berdomisili Bali dan sudah terbiasa dengan terik matahari, hari ini panas. Mungkin karena aku sudah mulai terbiasa dengan sejuknya musim panas disini. Entahlah. Yang jelas hari ini panas.
Panas teriknya matahari lebih kurasakan karena hari itu aku sibuk di luar ruangan. Bukan bekerja. Liburan. Ya aku menghabiskan pekan liburan di Kota Sydney, Persemakmuran Australia. Hari ini sudah hari ketiga dan aku berencana mengunjungi beberapa bangunan bersejarah di pusat kota.
Dua hari terakhir aku sudah mengunjungi ikon-ikon Kota Sydney. Sydney Opera House, rumah opera ikonik itu. Yang atapnya didesain mirip layar kapal dan cangkang kerang.
Lalu Botanic Garden, kebun raya besar yang membuatku sadar bahwa penjajah Inggris gemar membuat kebun dimanapun mereka pergi, sebab Kebun Raya Bogor pun dibuat Raffles.
Sudah kunikmati pula kemajuan teknologi dan apa yang disebut orang Barat sebagai 'peradaban'. Sistem transportasi publik yang lancar mutakhir. Teratur dan rapi mengintegrasi jalur kereta, bus, dan trem dalam kota.Â
Sudah kusaksikan tata kota yang cantik menawan: plaza-plaza beton dinaungi pepohonan rindang, lapangan rumput hijau di tiap-tiap pojok jalan, bangunan-bangunan tua yang indah dan elok terpelihara.
Luar biasa.
Hari ini aku ingin menyaksikan lebih. Jika kemarin-kemarin aku mengunjungi ikon internasional, kali ini aku ingin merasakan yang interlokal. Aku berencana mengunjungi pusat kota. Mengunjungi gedung-gedung bersejarah yang menyimpan cerita orang-orang berkuasa di Australia.
Sydney punya banyak bangunan semacam itu. Bagaimana tidak, kota ini adalah pemukiman Eropa tertua di Benua Selatan ini. Katederal Katolik pertama di Australia? Di Sydney. Gereja Anglikan tertua? Juga di Sydney. Museum Perang Dunia Pertama? Sydney. Bahkan taman kota tertua di Australia, Hyde Park, juga berada di tengah kota Sydney. Dan semua bangunan tersebut terletak bergerombol dengan bangunan-bangunan pemerintahan yang masih aktif hingga sekarang, seperi Gedung Parlemen Negara Bagian New South Wales, Gedung Pengadilan, hingga Gedung Pertanahan. Semuanya terletak bergerombol antara dua stasiun kereta Martin Place dan St James. Daerah itulah yang kutuju hari ini.
Siang itu kutelusuri jalanan kota dari hotel tempatku menginap menuju stasiun kereta terdekat. Kubayar ongkos kereta dengan tap card, sistem pembayaran cashless mutakhir yang sudah universal digunakan di Sydney tapi masih dirintis di Indonesia.Â
Kunaiki gerbong bertingkat dua yang rapi bersih terawat, meluncur dua stasiun menuju Stasiun St James. Kuintip di jendela orang-orang kota yang memenuhi jalanan. Orang-orang berbagai warna kulit dari lusinan negara dan suku bangsa, semuanya merantau ke Sydney demi mengejar rejeki. Dan menikmati peradaban Barat yang katanya paling maju di Bumi.
Aku naik ke permukaan dari stasiun bawah tanah itu, tepat di depan Gereja St James, gereja Anglikan tertua di Sydney. Bangunan itu sangat terawat dan dihias berbagai seni indah, mulai patung-patung hingga plakat memperingati para pembesar Sydney dan kontribusinya bagi kota dan gereja.
Aku meluncur menikmati indahnya pusat Kota Sydney, yang trotoarnya saja dihias taman bunga dan patung-patung raja-ratu Inggris Raya. Aku berjalan di setapak dan rumput Hyde Park. Aku menikmati interior Katederal St Mary dengan lukisan kaca jendela yang indah menceritakan penderitaan dan penebusan Kristus.
Budaya. Peradaban. Sejarah. Kemajuan. Itulah citra yang digemakan oleh bangunan-bangunan ini.
Perjalananku akhirnya membawaku ke plaza beton terbuka tepat di depan Gedung Parlemen New South Wales. Aku duduk. Lelah dan kepanasan. Sudah kubilang, hari ini panas. Lebih panas apabila kau berjalan hampir dua kilometer dari St James ke sini. Kupandangi dengan sedih botol minumku yang kosong. Isinya sudah habis, diminum sedikit-sedikit selama berjalan. Sudah menguap pula menjadi keringat.
Air mineral disini mahal. Sebotol yang berisi 600 ml sama dengan sekali makan nasi di Bali. Syukurnya air keran bisa diminum. Jadi aku keliling plaza itu, berusaha mencari keran untuk mengisi botol airku. Sambil menikmati kerindangan yang mengingatkanku akan pusat pemerintahan Provinsi Bali di Renon.
Sepuluh menit mencari dengan keringat terus mengucur, apa lacur keran itu belum juga kutemukan. Menyerah, kuhampiri seorang yang tampaknya seperti petugas keamanan. Orangnya besar, kulitnya cokelat dengan rambut dan kumis tebal yang mulai beruban. Dari wajahnya aku bisa menebak ia seorang keturunan India.
"Permisi, Pak. Bisakah Anda memberi tahu saya di mana ada keran untuk mengisi botol air?" tanyaku dalam Bahasa Inggris.
"Oh, di daerah ini tidak ada," katanya. Dari logatnya aku tau aku benar, ia keturunan India. "Tapi... sini, ikut aku."
Ia berjalan ke arah sebuah pintu yang tersembunyi di tembok salah satu gedung disitu. Aku patuh saja, mengikutinya. Ternyata itu posko jaga petugas keamanan. Ia masuk ke dalam sebentar lalu keluar lagi dengan sebotol air mineral dingin di tangan.
"Ini," katanya menyerahkan botol itu padaku.
"Wah! Terima kasih banyak, Pak," kataku menerima botol itu, sumringah. Bapak India tua itu hanya mengangguk dan tersenyum. Mungkin ia iba pada seorang turis nyasar yang kehausan di depannya ini. Atau ia memang seorang yang murah hati. Tapi sejujurnya sejauh ini semua orang yang kutanyai di Sydney merespon baik dan sangat membantu.
Langkahku lebih ringan dengan botol itu di tangan. Akan kubuka sebentar lagi di kereta. Sudah hampir jam berangkat, aku harus segera ke peron agar tak terlambat. Bergegas aku mencari elevator menuju stasiun bawah tanah yang menurut Google Map ada dekat sini, di depan Gedung Parlemen.
Itu dia! Kutemukan lift itu, tersembunyi dalam sebuah ceruk di dinding gedung tinggi, tepat di seberang Gedung Parlemen. Bergegas kuberlari kesana, mengejar kereta.
Aku berbelok memasuki ceruk tempat elevator itu berada... dan dihadapkan pada pemandangan mengenyuhkan hati. Seorang nenek tua, sangat tua dengan rambut putih beruban dan kulit keriput dipenuhi bercak-bercak cokelat karena usia.Â
Ia terduduk di tanah berbalut berlapis-lapis baju tebal untuk melawan angin dan cuaca. Walaupun siang ini cuaca panas, tapi angin tetap kencang berhembus dan tentunya berat bagi tulang-tulang tua wanita itu menahannya. Di sekitarnya tersebar beberapa tas dan keresek berisi pakaian dan sedikit barang pribadi yang dimilikinya.
Wanita tua ini seorang tunawisma. Tak punya rumah ataupun sanak yang mengurusnya.
Seorang menyenggol bahuku dari belakang. Seorang pria berpakaian rapi, bak pejabat tinggi negeri, melewatiku sambil sibuk berbicara di telepon genggam. Baru kusadari, beberapa orang dari tadi sudah masuk ke stasiun lewat elevator ini.Â
Pria dan wanita berpakaian rapi, dengan jas dan blazer sutera berbagai warna, dasi satin dan sepatu kulit yang disemir mengilap. Mungkin mereka pejabat. Birokrat. Bahkan bisa jadi seorang wakil rakyat yang ngantor hanya di seberang jalan. Dan semuanya hanya lewat. Tidak ada yang melirik pada wanita tua tunawisma yang hanya teronggok di pojok kota. Di ceruk kecil tersembunyi dari pandangan, tersembunyi dari peradaban. Menua dan membusuk sendirian. Tak ada yang memedulikan.
Aku jadi teringat kata-kata seorang temanku yang tinggal di Sydney yang kutemui di hari pertama. Ia berkata, "Orang disini tak suka memberi. Tunawisma itu sudah mendapat santunan dari negara dan mereka sudah membantu tunawisma itu dengan membayar pajak.Â
Uang mereka adalah hasil jerih payah sendiri, milik sendiri. Lagipula, banyak tunawisma itu yang jadi tunawisma hanya karena malas bekerja, mereka pemabuk atau pecandu narkoba. Kalau kau beri mereka sesuatu, mereka hanya akan datang lagi esok hari. Meminta lebih."
Tapi bagaimana dengan tunawisma di depanku ini? Apa benar wanita tua ini pemabuk atau pemadat? Bisa kerja apa dia dengan tubuh serenta itu?
Kupandang botol air dingin di tanganku. Air dingin yang kuterima cuma-cuma karena kebaikan orang. Kulihat lagi wanita tua itu, yang memejamkan mata, tak bisa dibedakan tidur atau mati.
Hatiku menggerakkan badan sebelum otakku memutuskan. Kuhampiri dia lalu kusapa, "Hei, cuaca hari ini panas sekali. Apa kau punya cukup air?"
Wanita itu mendongak tanpa berkata, memandangku yang  berlutut di atasnya dengan wajah mengibakan. Tanpa menunggu jawaban aku serahkan botol air dingin itu ke tangannya sambil berkata lagi, "Ini. Ambilah."
"Ooh, terima kasih banyak. Tuhan memberkatimu nak," katanya lagi dengan suara bergetar.
Aku terlalu terguncang untuk menjawab, hanya bisa menggumamkan sesuatu yang maksudnya berbunyi, "Tak apa, Bu."
Aku mulai melangkah menjauh, menuju elevator dan kembali menjelajah kota canggih berperadaban maju ini ketika kudengar ia memanggilku.
"Hei, bisakah tolong kau bukakan botol ini? Aku tak bisa," katanya dengan tangan gemetar seperti penderita Parkinson. Suaraku tercekat. Aku tak bisa berkata apa selain mendekat dan membukakan tutup botol itu untuknya.
"Terima kasih, Nak. Terima kasih banyak. Tuhan memberkatimu," katanya lagi.
Aku terlalu terguncang untuk menjawab. Hanya bisa mengangguk dan berusaha tersenyum, lalu aku berlalu memasuki stasiun bersama pria dan wanita pejabat kota yang bahkan tidak melirik wanita yang tergeletak di tanah itu.
Kembali aku duduk di dalam kereta, mengintip gedung-gedung tinggi dari jendela. Kota yang maju dengan infrastruktur canggih. Masyarakat beradab yang menjamin kebutuhan warganya dengan hukum, perpajakan, dan subsidi silang.Â
Komunitas beradab yang membiarkan seorang wanita lansia tunawisma tertidur dan membusuk di depan gedung wakil rakyat tanpa sedikitpun meliriknya.
Luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H