Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sisifus Jatuh Cinta (Lagi)

14 Februari 2019   09:27 Diperbarui: 14 Februari 2019   10:02 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://medium.com/@egleisberg/my-heart-broke-multiple-times-today-be1d1022d058

Seorang pria berjalan gontai, terhuyung memasuki pelataran gereja. Rambutnya panjang, mencuat kesana kemari seperti sarang burung kenari. Wajahnya tirus dan badannya kurus, seperti orang yang belum makan berhari-hari. Ia memandang ke depan dengan tatapan nanar. Seperti orang yang akan bunuh diri.

Paling tidak mungkin itu yang akan dikatakan orang-orang yang melihatku di gereja pagi itu. Setelah dua bulan tidak beribadah, dua minggu terakhir bahkan tak keluar rumah, akhirnya aku menginjakkan kaki di pelataran suci ini. Masa berkabung sudah usai, brahmacariku sudah selesai.

Hari Senin dua bulan lalu aku mengalami nahas di atas segala nahas. Cintaku pupus, diputuskan oleh mantanku. Lagi. Dengan yang waktu itu maka sudah sebelas kali aku patah hati dalam usia yang belum lagi kepala tiga. Enam kali cinta ditolak, tiga kali diputuskan, dua kali gagal saat sudah menjelang naik pelaminan. Nahas.

Penyebabnya pun klasik dan itu-itu saja. Hanya dua kata: 'berbeda' dan 'terlalu'. Diulang-ulang dengan berupa-rupa kombinasi hingga aku muak mendengarnya. Aku sudah pernah patah hati karena beda agama, beda suku, beda partai politik, dan beda capres ketika pemilu. Cintaku bahkan pernah ditolak karena beda jenis kelamin sebab ternyata aku jatuh cinta pada seorang lesbian. Jika bukan berbeda, maka masalahnya adalah 'terlalu'. Aku terlalu gemuk, terlalu kurus, terlalu kaya, terlalu miskin, dan terlalu-terlalu yang lainnya. Nahas.

Tapi nahas tiga kali nahas adalah yang terakhir ini. Dari awal aku sudah ragu. Bagaimana tidak, mantan pacarku yang terakhir itu banyak sekali 'berbeda' dan 'terlalu'. Ia wanita jenius, kaya, dan jelita. Belum lagi beda suku dan agama. Aku beruntung ketika itu tidak pemilu sehingga tidak perlu ada beda capres dan parpol. Tapi tetap saja. Apalah dayaku yang idiot, melarat, dan buruk rupa ini. Belum lagi aku setengah gila.

Ajaibnya kami pacaran selama satu tahun, delapan bulan, dan sebelas hari tanpa masalah. Tambah satu bulan lagi jika menghitung masa pendekatan. Akhirnya datang tiba-tiba. Malam itu, tanpa didahului semilir sepoi apalagi hujan dan angin, datang sebuah pesan berbunyi, "Aku sudah tidak mencintaimu. Kita beda agama dan suku, orang tua kita sama-sama tidak setuju. Kau juga terlalu bodoh, miskin, dan buruk rupa untukku. Lagipula aku lesbian."

Lengkap. Dalam satu wanita aku mengalami semua 'berbeda' dan 'terlalu' yang ada dalam bayanganku. Nahas, tiga kali nahas.

Jika patah hati menyisakan hati setengah, maka hatiku tinggal tersisa setengah pangkat sebelas. Itu kurang dari nol koma nol nol nol lima. Demi mencegah hatiku jadi setengah pangkat dua belas, aku bertapa. Selama empat belas hari mengunci diri hanya ditemani sebotol arak dan sebungkus kuaci. Setiap hari kerjaku hanya makan kuaci, minum arak, dan berak. Juga berpikir. Merenung.

Awalnya kubebankan nahasku pada wanita. Wanita-wanita keparat, menolak cintaku yang tulusnya kuadrat. Tapi saat kucoba mencinta pria pun cintaku kandas. Itulah patah hati yang keenam dan kedelapan, saat-saat aku putus asa mencinta wanita dan mencoba birahi pada pria. Jadi kusimpulkan masalahnya bukan wanita.

Berikutnya kusalahkan semesta. Sudah tentu nahasnya cintaku karena nasib terlahir melarat, idiot, dan buruk rupa. Tapi kulihat kawan-kawanku yang terlahir lebih celaka toh berhasil bercinta. Walau pernah patah hati setidaknya tidak sampai sebelas kali. Jadi ini bukan salah nasib atau semesta.

Maka kusimpulkan pelakunya adalah cinta. Ya, cinta. Jika aku tak pernah mencinta tentu hatiku tak pernah terluka. Ia akan tetap utuh seperti sediakala. Cinta itu sakit hati. Cinta itu dikhianati. Cinta itu menanggung sengsara. Maka kupuskan untuk berhenti mencinta. Selamanya.

Pada hari keempat belas brahmacariku, dengan perut penuh isi kuaci dan mabuk minum arak, aku bersumpah tak akan lagi mencinta. Hari ini aku ke gereja, akan meresmikan sumpah itu pada Tuhan yang figuranya tergantung di atas altar.

"Fus, lama ngga ketemu nih! Kamu makin gemuk saja!" seseorang menyapaku yang baru saja menaruh bokong di atas bangku. Kulihat di sebelah kananku sudah duduk seorang pria muda berbaju batik nyengir sambil menyodorkan tangan, mengajak salaman. Dimas. Namanya Dimas, sobatku sejak lama yang aku hampir lupa tertelan arak dan kuaci.

Aku ambil tangannya sambil berpikir, apa dia buta? Atau dia gila? Sudah kulihat sendiri wajahku di cermin tadi pagi, kuyu dan tirus dengan pakaian kebesaran dua ukuran. Gemuk sebelah mananya? Bahkan jempol tanganku lebih kurus dari dari sebelumnya. Malas berdebat, kujawab saja, "Perut besar cuma berisi arak dan kuaci."

Tapi memang aku manusia nahas dan celaka. Begitu mataku menoleh menjauh dari muka Dimas yang hanya tergelak, tertangkap dalam pandangan sesosok wanita. Cantik. Jelita. Tak cukup kata sifat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mengungkapkan cantiknya, apalagi kalau hanya sebatas otakku yang kopong seperti panci bocor. Lidahku kelu. Perutku kaku. Terasa kupu-kupu beterbangan dalam dada dan lambungku. Aku jatuh cinta. Lagi.

"Mas, siapa itu?" tanyaku sambil menunjuk wanita itu, yang gaun merah dan rambut hitam panjangnya membuatnya tampak seperti putri Cina dalam drama-drama Korea.

"Lu lihat aja cewek cakep!" kata Dimas nyengir, memamerkan giginya yang rapinya seperti gigi kuda. "Tapi maaf bro, gue juga ngga tau."

Aku baru ingat Dimas memang teman yang tidak terlalu berguna. Wajah ajaib dengan gigi kuda, baju batik yang selalu kebesaran, ketawa cengengesan, dan otak yang cuma setengah ons beratnya. Pantas saja dia patah hati sudah lima kali. Tapi toh pacarnya yang sekarang sudah bertahan lima tahun, enam bulan, tujuh hari, sebentar lagi akan naik pelaminan. Masih aku yang lebih nahas dan celaka.

Ibadah mulai. Lagu dan himne pujian silih berganti. Firman dibacakan, kothbah disampaikan. Aku duduk berdiri, mulutku megap-megap bernyanyi, tapi mata dan pikiran tak pernah beralih: hanya memandang pada gadis jelita dalam gaun merah yang duduk di deret bangku terdepan.

Akhirnya terdengar lagu 'Amin, amin, amin' menandakan ibadah telah berhenti. Aku segera bangkit berdiri, peduli setan dengan Dimas yang lagi menyodorkan tangan mengajak salaman. Tadi kan sudah. Seperti mimpi kakiku melangkah membawaku mendekati si gadis bergaun merah.

Sepanjang jalan, yang cuma lima puluh meter kurang, aku terus membatin. Mengingatkan diri atas sumpah brahmacariku yang pantang bercinta lagi. Merutuki nasib bertemu wanita jelita pada hari pertama pasca bersumpah. Mungkinkah Tuhan mendengar sumpahku dan kini mengujiku? Atau ini tanda Tuhan melarangku bersumpah dan dengan kuasa-Nya kembali membuatku mencinta? Mungkin wanita itu adalah bidadari yang diutus Tuhan hanya untuk menguji sumpahku, setelah kumencintainya ia akan menghilang menguap seperti embun. Sama seperti wanita-wanita yang kucinta sebelumnya yang menghilang tertelan memori dan arus kehidupan.

Akhirnya tepat di depan altar aku bertemu dengannya. Berhadapan muka. Cantiknya bahkan lebih jelita daripada saat aku mengintipnya dari deretan belakang. Aku berdiri cukup dekat untuk bisa mencium aroma mawar dari minyak wanginya. Seperti tersihir, aku tak bisa mengontrol bibir yang sendirinya berkata, "Hai. Kamu cantik. Siapa namamu?"

Ia hanya memandangku, melongo. Tentu saja melongo. Siapa yang tidak melongo jika ada pria nahas buruk rupa tiba-tiba menghampirimu lalu menggombal? Ia bahkan belum tau namamu! Oh Tuhan, di bawah pandanganmu yang tergantung di salib di atas altar, buatlah bumi menelanku dan bejek-bejeklah mukaku jadi lembek seperti tahi kuda!

"Hihi," akhirnya ia bersuara, cekikikan imut yang membuat lemas lututku. "Namaku Petra."

"Batu karang?" jawabku bodoh.

"Hihi," ia cekikikan lagi. "Iya, dalam Bahasa Yunani. Namamu sendiri?"

"Si- Sisifus," jawabku malu-malu. Namaku aneh. Aku tidak suka menyebutkannya pada orang lain, apalagi pada wanita secantik ini.

"Sisifus? Nama orang Yunani dalam mitos itu?"

"Iya, yang menggelindingkan batu besar ke atas gunung hanya untuk melihatnya jatuh dan mengulanginya berkali-kali," jawabku.

"Itu kerja berat. Tapi perutmu besar. Tidak seperti orang yang habis kerja berat," katanya menunjuk perutku yang membuncit dari baju yang terlalu kecil dua ukuran.

Aku terpana melihatnya. Sejak kapan perutku mengembung? Bukankah tadi pagi aku tirus seperti mayat yang baru digali dikeluarkan dari kubur? Apa ada teori kedokteran baru bahwa jatuh cinta membuat tubuhmu subur? Dengan terbata-bata aku menjawab, "Se- sebenarnya aku kurus. Perutku buncit isinya hanya angin dan angin. Sebentar aku sendawa tentu kurus kembali."

"Hihi," ia cekikikan lagi. "Apa ayahmu juga penggemar Yunani seperti ayahku?"

"Bisa jadi. Atau sekedar penggemar Albert Camus," jawabku sekenanya, teringat bahwa penulis tampan keparat yang mati muda itu pernah menulis esai berjudul Mitos Sisifus.

"Hihi," ia cekikian lagi, sudah empat kali. Jika terus begini bisa-bisa lututku mencair menyatu dengan lantai. "Kau lucu."

"Memang," kataku. "Tapi tidak sengaja. Hanya karena kau terlalu cantik membuat bodohku semakin kentara."

"Hihi," ia cekikian lagi. Sumpah, imut sekali. Kalau cekikikannya ini disiarkan televisi tentu sudah semua pria seindonesia jatuh cinta padanya. Tidak, sedunia!

Mungkin overdosis terbius cekikikannya yang kulihat sampai lima kali, mulutku kembali bergerak bersuara tak terkendali, "Maukah kau menerima hatiku yang hanya tersisa setengah pangkat sebelas bagian lalu menjaganya jangan sampai jadi setengah pangkat dua belas?"

Yak. Dalam satu tarikan nafas aku menyatakan cinta padanya. Pada wanita jelita yang memandangnya saja mata ini sebenarnya tak pantas. Tanpa kusadari.

Oh Tuhan, kali ini tidak cukup kau bejek-bejek wajahku jadi tahi kuda. Turunkanlah bencana malapetaka, gempa bumi dan tsunami, hingga meteor jatuh menghujani bumi agar wajah dan tubuhku terdisintegrasi menjadi butiran debu yang kecil sekali!

Hening.

Sepertinya Tuhan menjawab doaku. Tidak. Bukan dengan memajukan jadwal kiamat tapi dengan menghentikan waktu. Sebab yang terhening bukan hanya Petra jelita di depanku tapi semuanya dari dua ratus jiwa yang masih ada dalam gereja. Bahkan mesin mobil dari jalan raya pun berhenti bunyinya. Antara Tuhan menghentikan waktu atau mereka terpana akan pengakuan cintaku dan sebentar lagi akan serempak tergelak tertawa. Menertawaiku.

Tapi dengan waktu yang terhenti aku bisa merenung. Lagi. Memikirkan alasanku putus asa dalam bercinta. Merenungkan cintaku yang putus hingga sampai sebelas kali. Merenungkan bahwa, walau otakku memutuskan berhenti mencinta, hatiku tak bisa. Ia tak terkendali seperti kuda jantan sedang birahi.

Kurenungkan lagi kenapa aku berhenti mencinta. Apa karena putus asa karena sebelas kali gagal dan patah hati? Lalu apa yang akan kulakukan kalau tak lulus ujian dua belas kali? Berhenti kuliah? Ataukah aku akan menjadi kere peminta-minta jika ditolak melamar kerja sampai tiga belas kali? Berhenti makan jika tersedak empat belas kali? Atau berhenti bernafas jika sesak nafas sampai lima belas kali? Dari pada begitu lebih baik sekarang aku mati.

Sepertinya aku mulai mengerti. Bahagia dan patah hati adalah dua sisi yang sama dari koin bernama cinta. Tiap kali hati bertindak, jatuh cinta tanpa bisa ditahan-tahan lagi, kita melempar koin itu ke udara. Disana ia berputar-putar berkali-kali sekian lamanya hingga jatuh ke tanah: bahagia dan tua bersama hingga mati, atau putus cinta dan patah hati.

Tuhan tak mengijinkanku putus asa dalam mencinta. Pun juga hatiku sendiri melarangnya. Aku disuruh terus berusaha. Sebab bahagia hanya sementara dan gagal sudah biasa. Yang kekal hanya usaha.

Oh Tuhan, aku sudah mengerti! Sekarang biarkanlah aku mendengar jawabnya, untuk tau apa ia akan membuatku bahagia atau mematahkan hatiku untuk yang keduabelas kali.

Seketika hening pecah. Bunyi mobil di jalan kembali terdengar. Bising percakapan memenuhi ruangan. Dan di hadapanku seorang gadis jelita bergaun merah tersenyum manis sekali dan berkata, "Iya. Tentu aku mau."

Hatiku girang. Bukan kepalang. Aku menari-nari di depan altar seperti Daud ketika membawa pulang Tabut Perjanjian.

Mungkin bahagia ini sementara dan patah hati keduabelas menunggu hanya di depan mata. Mungkin kodrat manusia seperti Sisifus kuno yang jadi sumber namaku, mendorong batu karang besar ke puncak gunung hanya untuk melihatnya jatuh. Jika iya aku akan mendorong Petra, si batu karang jelita di depanku ini, dengan setia ke puncak asmara meski hanya untuk melihatnya jatuh ke jurang nestapa, menyeretku bersamanya. Aku akan mencinta dan terus mencinta.

Meski harus jadi gila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun