Tuhan tak mengijinkanku putus asa dalam mencinta. Pun juga hatiku sendiri melarangnya. Aku disuruh terus berusaha. Sebab bahagia hanya sementara dan gagal sudah biasa. Yang kekal hanya usaha.
Oh Tuhan, aku sudah mengerti! Sekarang biarkanlah aku mendengar jawabnya, untuk tau apa ia akan membuatku bahagia atau mematahkan hatiku untuk yang keduabelas kali.
Seketika hening pecah. Bunyi mobil di jalan kembali terdengar. Bising percakapan memenuhi ruangan. Dan di hadapanku seorang gadis jelita bergaun merah tersenyum manis sekali dan berkata, "Iya. Tentu aku mau."
Hatiku girang. Bukan kepalang. Aku menari-nari di depan altar seperti Daud ketika membawa pulang Tabut Perjanjian.
Mungkin bahagia ini sementara dan patah hati keduabelas menunggu hanya di depan mata. Mungkin kodrat manusia seperti Sisifus kuno yang jadi sumber namaku, mendorong batu karang besar ke puncak gunung hanya untuk melihatnya jatuh. Jika iya aku akan mendorong Petra, si batu karang jelita di depanku ini, dengan setia ke puncak asmara meski hanya untuk melihatnya jatuh ke jurang nestapa, menyeretku bersamanya. Aku akan mencinta dan terus mencinta.
Meski harus jadi gila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H