"Hihi," ia cekikian lagi, sudah empat kali. Jika terus begini bisa-bisa lututku mencair menyatu dengan lantai. "Kau lucu."
"Memang," kataku. "Tapi tidak sengaja. Hanya karena kau terlalu cantik membuat bodohku semakin kentara."
"Hihi," ia cekikian lagi. Sumpah, imut sekali. Kalau cekikikannya ini disiarkan televisi tentu sudah semua pria seindonesia jatuh cinta padanya. Tidak, sedunia!
Mungkin overdosis terbius cekikikannya yang kulihat sampai lima kali, mulutku kembali bergerak bersuara tak terkendali, "Maukah kau menerima hatiku yang hanya tersisa setengah pangkat sebelas bagian lalu menjaganya jangan sampai jadi setengah pangkat dua belas?"
Yak. Dalam satu tarikan nafas aku menyatakan cinta padanya. Pada wanita jelita yang memandangnya saja mata ini sebenarnya tak pantas. Tanpa kusadari.
Oh Tuhan, kali ini tidak cukup kau bejek-bejek wajahku jadi tahi kuda. Turunkanlah bencana malapetaka, gempa bumi dan tsunami, hingga meteor jatuh menghujani bumi agar wajah dan tubuhku terdisintegrasi menjadi butiran debu yang kecil sekali!
Hening.
Sepertinya Tuhan menjawab doaku. Tidak. Bukan dengan memajukan jadwal kiamat tapi dengan menghentikan waktu. Sebab yang terhening bukan hanya Petra jelita di depanku tapi semuanya dari dua ratus jiwa yang masih ada dalam gereja. Bahkan mesin mobil dari jalan raya pun berhenti bunyinya. Antara Tuhan menghentikan waktu atau mereka terpana akan pengakuan cintaku dan sebentar lagi akan serempak tergelak tertawa. Menertawaiku.
Tapi dengan waktu yang terhenti aku bisa merenung. Lagi. Memikirkan alasanku putus asa dalam bercinta. Merenungkan cintaku yang putus hingga sampai sebelas kali. Merenungkan bahwa, walau otakku memutuskan berhenti mencinta, hatiku tak bisa. Ia tak terkendali seperti kuda jantan sedang birahi.
Kurenungkan lagi kenapa aku berhenti mencinta. Apa karena putus asa karena sebelas kali gagal dan patah hati? Lalu apa yang akan kulakukan kalau tak lulus ujian dua belas kali? Berhenti kuliah? Ataukah aku akan menjadi kere peminta-minta jika ditolak melamar kerja sampai tiga belas kali? Berhenti makan jika tersedak empat belas kali? Atau berhenti bernafas jika sesak nafas sampai lima belas kali? Dari pada begitu lebih baik sekarang aku mati.
Sepertinya aku mulai mengerti. Bahagia dan patah hati adalah dua sisi yang sama dari koin bernama cinta. Tiap kali hati bertindak, jatuh cinta tanpa bisa ditahan-tahan lagi, kita melempar koin itu ke udara. Disana ia berputar-putar berkali-kali sekian lamanya hingga jatuh ke tanah: bahagia dan tua bersama hingga mati, atau putus cinta dan patah hati.