Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sisifus Jatuh Cinta (Lagi)

14 Februari 2019   09:27 Diperbarui: 14 Februari 2019   10:02 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari keempat belas brahmacariku, dengan perut penuh isi kuaci dan mabuk minum arak, aku bersumpah tak akan lagi mencinta. Hari ini aku ke gereja, akan meresmikan sumpah itu pada Tuhan yang figuranya tergantung di atas altar.

"Fus, lama ngga ketemu nih! Kamu makin gemuk saja!" seseorang menyapaku yang baru saja menaruh bokong di atas bangku. Kulihat di sebelah kananku sudah duduk seorang pria muda berbaju batik nyengir sambil menyodorkan tangan, mengajak salaman. Dimas. Namanya Dimas, sobatku sejak lama yang aku hampir lupa tertelan arak dan kuaci.

Aku ambil tangannya sambil berpikir, apa dia buta? Atau dia gila? Sudah kulihat sendiri wajahku di cermin tadi pagi, kuyu dan tirus dengan pakaian kebesaran dua ukuran. Gemuk sebelah mananya? Bahkan jempol tanganku lebih kurus dari dari sebelumnya. Malas berdebat, kujawab saja, "Perut besar cuma berisi arak dan kuaci."

Tapi memang aku manusia nahas dan celaka. Begitu mataku menoleh menjauh dari muka Dimas yang hanya tergelak, tertangkap dalam pandangan sesosok wanita. Cantik. Jelita. Tak cukup kata sifat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mengungkapkan cantiknya, apalagi kalau hanya sebatas otakku yang kopong seperti panci bocor. Lidahku kelu. Perutku kaku. Terasa kupu-kupu beterbangan dalam dada dan lambungku. Aku jatuh cinta. Lagi.

"Mas, siapa itu?" tanyaku sambil menunjuk wanita itu, yang gaun merah dan rambut hitam panjangnya membuatnya tampak seperti putri Cina dalam drama-drama Korea.

"Lu lihat aja cewek cakep!" kata Dimas nyengir, memamerkan giginya yang rapinya seperti gigi kuda. "Tapi maaf bro, gue juga ngga tau."

Aku baru ingat Dimas memang teman yang tidak terlalu berguna. Wajah ajaib dengan gigi kuda, baju batik yang selalu kebesaran, ketawa cengengesan, dan otak yang cuma setengah ons beratnya. Pantas saja dia patah hati sudah lima kali. Tapi toh pacarnya yang sekarang sudah bertahan lima tahun, enam bulan, tujuh hari, sebentar lagi akan naik pelaminan. Masih aku yang lebih nahas dan celaka.

Ibadah mulai. Lagu dan himne pujian silih berganti. Firman dibacakan, kothbah disampaikan. Aku duduk berdiri, mulutku megap-megap bernyanyi, tapi mata dan pikiran tak pernah beralih: hanya memandang pada gadis jelita dalam gaun merah yang duduk di deret bangku terdepan.

Akhirnya terdengar lagu 'Amin, amin, amin' menandakan ibadah telah berhenti. Aku segera bangkit berdiri, peduli setan dengan Dimas yang lagi menyodorkan tangan mengajak salaman. Tadi kan sudah. Seperti mimpi kakiku melangkah membawaku mendekati si gadis bergaun merah.

Sepanjang jalan, yang cuma lima puluh meter kurang, aku terus membatin. Mengingatkan diri atas sumpah brahmacariku yang pantang bercinta lagi. Merutuki nasib bertemu wanita jelita pada hari pertama pasca bersumpah. Mungkinkah Tuhan mendengar sumpahku dan kini mengujiku? Atau ini tanda Tuhan melarangku bersumpah dan dengan kuasa-Nya kembali membuatku mencinta? Mungkin wanita itu adalah bidadari yang diutus Tuhan hanya untuk menguji sumpahku, setelah kumencintainya ia akan menghilang menguap seperti embun. Sama seperti wanita-wanita yang kucinta sebelumnya yang menghilang tertelan memori dan arus kehidupan.

Akhirnya tepat di depan altar aku bertemu dengannya. Berhadapan muka. Cantiknya bahkan lebih jelita daripada saat aku mengintipnya dari deretan belakang. Aku berdiri cukup dekat untuk bisa mencium aroma mawar dari minyak wanginya. Seperti tersihir, aku tak bisa mengontrol bibir yang sendirinya berkata, "Hai. Kamu cantik. Siapa namamu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun