Sudah 1 bulan Adam terbaring di rumah sakit ini, berbagi bangsal dengan 7 pasien lain. Ia berjuang melawan kanker paru-paru. Setiap hari menjadi perjuangan tersendiri. Dengan bersenjatakan obat ini dan itu ia bertahan hingga kini. Tapi ia tau ia berperang di pihak yang kalah. Semakin hari tubuhnya sedikit lebih nyeri, nafasnya sedikit lebih berat. Ia sekarat.
Malam ini, seperti malam-malam terakhirnya, ia terjaga. Nafasnya sesak membuat tidur menjadi berat. Jadi ia melakukan kegemaran barunya: mendengarkan.
Malam ini sepi, seperti biasanya. Adam bisa mendengar suara orang-orang yang tidur. Beberapa penunggu pasien mendengkur di lantai, lelap beralaskan tikar seadanya. Pasien-pasien tidur gelisah. Nafas-nafas berat yang kadang merintih membedakan si sakit dari si sehat.
Di bawah tempat tidurnya ia mendengar dengkuran anak dan istrinya. Anak yang sangat dicintainya, satu-satunya alasan pernikahannya masih ada. Istri yang dinikahinya dengan terpaksa namun setia juga merawatnya, terlepas dari perceraian yang mereka rencanakan. Merekalah suka dan duka hidupnya, satu dari sedikit yang tersisa baginya.
Tak ada hal menarik untuk didengar, Adam pun mengkhayal. Dengan nafas tersengal ia mengingat mimpi-mimpinya yang belum tercapai. Ia mengingat masa mudanya yang penuh cita-cita. Ia membayangkan tempat-tempat yang ingin dikunjunginya, hal-hal yang ingin dipelajarinya, orang-orang yang ingin dikenalnya.
Semuanya tak sampai. Ia tak punya lagi waktu untuk semuanya itu. Kini, hanya rumah sakit dan poliklinik yang dapat ditujunya, hanya dokter dan perawat baru yang akan dikenalnya.
Sekelabat gerakan di sudut mata mengganggu khayalnya. Sesosok manusia memasuki ruangan tanpa suara. Tapi... manusiakah itu? Tudung hitam legam menutupi setengah wajahnya dan jubah segelap malam menyembunyikan tubuhnya. Pintu di belakangnya tertutup rapat, tak terdengar suara terbuka ataupun tertutup.
Mendadak Adam menyadari tak ada lagi dengkuran dan rintihan yang belakangan ini menemani malamnya. Ia tahu jantungnya pasti berlari di dalam dada, tetapi degup itu tak terdengar olehnya. Yang ada hanya sepi. Hening.
Tanpa suara sosok itu berjalan - tidak, melayang! - menghampirinya. Sosok itu berdiri di sebelahnya, Adam dapat melihat bibir dan dagunya. Mirip manusia. Tapi mirip bukan berarti sama. Bukankah lelap juga terlihat seperti maut? Mungkin Ajal pun menyamar seperti insan.
"Ajal, Maut, kau kah itu? Ini kah waktuku?" tanya Adam pada sosok itu.
"Benar. Aku datang menjemputmu. Aku akan menemani dan menuntunmu menyeberang," jawab sosok itu, Maut, dengan lembut. Suaranya terdengar seperti wanita, layaknya seorang ibu. Sudut bibirnya sedikit melengkung, seperti tersenyum. Tapi matanya tetap gelap, terselubung bayang-bayang tudung.
"Siapa yang minta dijemput, hai Maut? Aku masih belum ingin pergi. Masih banyak yang belum kugapai di dunia ini."
"Ini waktumu. Kau sudah diberi waktu 45 tahun di tempat ini, lebih dari yang diberi pada banyak orang lain. Banyak yang sudah kau nikmati," Maut mengingatkan Adam.
"Nikmati? Kapan aku menikmati hidup ini, hai Maut? Tolonglah ingatkan karena aku tak ingat. Hidupku ini adalah sebuah keterpaksaan besar, tak ada yang kunikmati. Saat aku hendak hidup untuk diriku sendiri kau lawat aku dengan penyakit ini. Kapan aku sempat menikmati hidup?!" tuntut Adam.
"Terpaksa? Siapakah yang memaksamu, manusia? Adakah yang menempelkan pistol di pelipismu selama hidup ini? Atau mengancam dengan pisau di leher? Ini hidupmu, semua yang terjadi hingga detik ini adalah hasil perbuatanmu," jawab Maut, masih lembut.
"Terpaksa!" jawab Adam, suaranya meninggi. "Apa lagi akan kau sebut hidupku ini? Pendidikan yang kuambil dengan terpaksa, wanita yang kunikahi tanpa kuminta, pernikahan yang kujalani tanpa kuingini. Telisiklah hidupku ini untuk hal yang ku mau. Aku yakin tak satu pun akan kau temui."
Maut tak membalas, hanya diam. Dari balik selubung tudung itu Adam merasakan pandangan tajam menembus jiwanya.
Mungkinkah Maut ditunda, diyakinkan dengan kata-kata? Adam tak tahu. Tapi tak ada salahnya untuk berharap. Pada akhirnya hanya harapan yang ia punya.
"Kau lupa," akhirnya Maut berkata. "Semua itu adalah keputusan yang kau ambil sendiri, pilihan yang kau pilih sendiri. Beberapa kau ambil dengan yakin , yang lain penuh bimbang. Tapi itu pilihanmu, tak ada yang mengancam, apalagi memaksa. Kini kau tak suka hasilnya dan dosa kau bebankan pada semesta. Mari, aku akan mengingatkanmu."
Adam melihat lengan jubah hitam legam itu terangkat, mengarah padanya. Ia hendak menepis tetapi terlalu lemah untuk mengangkat tangan. Adam mengutuk penyakitnya, tetapi tetap berusaha. Ia tak akan pergi dibawa tanpa perlawanan, tekadnya.Â
Sebentuk tangan wanita, lembut keibuan, menjelma dari balik jubah itu. Adam hanya mampu menggeser lengannya sedikit, jauh dari cukup untuk menjauhkan tangan lembut itu darinya.
Tangan lembut Maut itu menyentuh pipinya, lembut sekali. Seketika semuanya berputar, bangsal dan ranjang, pasien dan penunggunya hilang dalam putaran cahaya. Inikah maut? Apakah ia sudah mati?
Tidak, terdengar suara Maut menjawabnya entah dari mana. Suara tanpa tubuh. Adam membatin, apa suara itu hanya dalam benaknya?
Aku sedang mengingatkanmu. Lihatlah.
Adam melayang. Di bawahnya tampak suatu ruangan yang tak asing. Karpet coklat bermotif bunga-bunga merah. Dua buah sofa beludru hitam, satu panjang dan satu pendek. Di atas sofa panjang duduk sepasang pria dan wanita paruh baya. Ayah dan Ibu, batin Adam. Di sofa kecil tampak seorang pria muda berseragam putih-abu. Adam pun tahu siapa itu.Â
Ketiga sosok itu bercakap, mulut-mulut bergerak tanpa suara. Adam tak perlu mendengar untuk tahu apa yang mereka cakapkan. Ini adalah adegan hidup yang terpatri dalam benaknya, salah satu yang tak henti-hentinya ia sesali.
"...jangan di sana. Itu hobimu, nak. Pendidikan itu untuk penghasilan, makan-minum mu. Jika kau lanjutkan niatmu ini akan jadi apa kau nanti?" kata ayahnya di bawah sana.
"Bapakmu benar nak. Kau memang berbakat melukis, tapi berapa penghasilan seorang pelukis? Kau bermimpi menjadi Piccaso tapi berapa pelukis yang mampu menjadinya? Satu dari seribu? Ibu yakin lebih sedikit dari itu.Â
"Hidupmu ini bukan perjudian. Kau perlu kepastian untuk dapat makan dan minum. Untuk itu kau perlu pendidikan tinggi, tak bisa kau taruhkan hidupmu dengan cat dan kuas semata," timpal Ibu.
"Adam, kami sudah mulai tua dan kau anak kami satu-satunya. Kami tak ingin menghabiskan penantian ajal sambil memikirkanmu, mengkhawatirkan apa yang akan kau makan esok hari. Demi ketenangan orang tuamu ini, menurutlah."
Inilah detik-detik Adam memutuskan mengubur kuas. Sebagai gantinya, kau mengambil buku eksakta dan belajar ilmu alam. Ia melukis pemandangan dengan bangunan, menggunakan batu dan beton sebagai catnya. Ia pikir arsitektur adalah ilmu eksakta yang paling menyerupai lukis-melukis. Tapi hatinya tetap memberontak, merindukan kesederhanaan merupa di atas bersihnya kanvas.
Kau lihat? Kau tidak dipaksa untuk mengambil keputusan itu, kata Maut dalam benaknya.
"Tidak terpaksa? Buta kah kau, Maut? Tidak kah kau lihat sedihnya aku membuang kuas itu? Aku hanya setuju demi kebahagiaan Ayah dan Ibu! Tak sedikit pun ini mauku," kata Adam kukuh.
Benar, manusia, jawab Maut, semua itu demi kebahagiaan Ayah dan Ibu-mu. Itu lah yang utama bagimu, selalu. Kau ingat kau tak punya saudara untuk menggantikanmu membahagiakan mereka. Jika kau membangkang, siapa lagi yang mereka punya? Melulu itu isi benakmu sedari dulu, tak terkecuali saat itu.
"Tentu saja aku memikirkan itu. Aku manusia, sudah kodratku ingin membahagiakan ayah dan ibu. Kau yang makhluk gaib, tanpa ayah dan ibu, taka akan mengerti! Anak mana yang akan membangkang, menyedihkan hati ibu yang melahirkannya dan ayah yang merawatnya?" tantang Adam.
Banyak. Demi berbagai alasan banyak anak yang membangkang ayah dan ibunya. Demi cinta, demi karir, demi harta. Oh, masih banyak lagi yang lain. Itu pilihan mereka.Â
Saat itu kau dihadapkan pada pilihanmu: kebahagian orang tuamu atau keinginan nuranimu. Kau memilih apa yang akan selalu kau pilih, kebahagiaan orang tuamu. Demi alasan itu pula kau tekun dalam pilihanmu. Kau belajar dan berprestasi, menyelesaikan pendidikan itu lebih cepat dari banyak rekan sebayamu. Kau mengambil keputusan itu tanpa kerelaan tetapi tanpa pemaksaan. Semua itu datang dari dirimu sendiri.
Ayah dan ibumu telah lebih dulu kujemput. Kini membahagiakan mereka tidak lagi tampak penting. Pilihan yang dulu kau ambil sendiri, walaupun dengan tak rela, kehilangan pembenarannya. Bertahun-tahun kau terjebak akibat keputusan saat itu, pilihan yang kehilangan pembenaran. Dalam kegetiranmu kau tak mau menyalahkan diri sendiri. Maka kau salahkan orang tuamu. Mereka yang dahulu menjadi pembenaran tinggal jadi kambing hitam.
Kurang ajar, batin Adam. Ia tak terima cintanya pada orang tua diragukan oleh Maut, makhluk gaib yang tak tahu ayah dan ibu. Amarah menelan rasa takutnya.
Tetapi, belum sempat ia membalas dunia kembali berputar. Sofa, karpet, dan tiga orang di bawah menghilang. Sebagai gantinya muncul pemandangan taman: rumput hijau dan jalan setapak dari batu. Matahari sore jatuh menyinari. Di kursi taman duduk sepasang manusia, pria dan wanita.
Adam kenal betul wanita itu. Laila, batinnya. Seorang wanita yang ia cintai hingga kini. Wanita yang bukan istrinya.
Ingatkah kau akan dia? tanya Maut.
"Tentu saja. Laila. Satu-satunya wanita yang kucinta. Hingga kini pun masih ku cinta dia. Kau tak tahu cinta, tak tahu betapa sedihnya aku saat harus mengakhiri hubungan dengannya," jawab Adam.
Harus? Siapa bilang kau harus mengakhiri hubungan dengannya?
"Tentu saja harus! Saat itu aku sudah ber-istri. Istri yang kunikahi tanpa cinta, hanya karena kehormatan dan hubungan baik keluarga. Tetapi tetap saja, aku memiliki kewajiban padanya. Apa kata dunia jika aku mencampakannya demi wanita lain? Aku akan dikucilkan dunia, dicap pria hidung belang tak bertanggung jawab. Anak-ku pun akan menderita. Dunia dan norma memaksaku mengakhiri hubungan dengan Laila."
Banyak orang lain menghadapi pilihan yang kau pilih. Mereka memilih kekasih, memilih cinta. Mereka dicerca dunia, dicap pendosa dan pezina. Keluarga mereka terserak, anak-anak mereka terjebak pertikaian. Tetapi mereka menghadapi semuanya bersama sang tercinta. Kau bisa memilih seperti itu. Tapi tidak. Kau memilih nama baikmu. Tak ada yang memaksa mu untuk memilih seperti itu. Semua dari dirimu sendiri, manusia, jawab Maut.
Ia ingin membalas, membela dirinya. Tak mungkin ia hidup menderita karena pilihan-pilihan itu, bukan?
Lagi, pemandangan itu menghilang sebelum sempat ia berkata-kata. Taman indah dan Laila digantikan ranjang, infus, dan Maut di sisi kasurnya. Ia kembali ke bangsal.
"Mengertikah kau, manusia?" tanya Maut lagi, lembut.
Kini Adam yang terdiam. Ia mengingat-ingat semua keputusan, pilihan dalam hidupnya. Semuanya itu telah membawanya pada detik ini: terbaring sekarat dengan nafas tersengal.
"Itu semua pilihanku," jawab Adam akhirnya. "Pilihan-pilihan yang aku sesali."
"Benar. Kau menyesal. Pilihan-pilihan itu tidak membawa kebahagiaan bagimu, mereka membawa sengsara. Kau tak sadar akan alasan-alasanmu memilih. Kau menelan nilai-nilai yang diberikan padamu, ajaran-ajaran sekelilingmu, tanpa bertanya. Ketika nilai-nilai itu membawamu pada sengsara kau menolak bertanggung jawab, kau menolak menerima bahwa sengsara yang kau alami akibat pilihanmu sendiri. Kau buat semuanya itu salah orang lain, salah semesta. Seolah kau tak bisa memilih."
"Tapi bukankah itu nilai-nilai Tuhan? Cintai orang tuamu, jangan berzina. Itulah yang Tuhan inginkan dariku. Bolehkah aku memilih dengan melanggar kehendak-Nya?
"Atau... aku yang salah mengerti kehendak-Nya? Mungkinkah Ia mengizinkanku untuk bebas, terlepas dari norma-norma dan ilmu sorga dunia ini?" tanya Adam.
Maut hanya tersenyum.
"Aku tak bisa menjawab semua itu. Bukan bagianku. Dunia ini diciptakan dengan berbagai maksud oleh-Nya, tak ada yang terjadi yang luput dari kehendak-Nya. Tetapi tak ada yang tahu apa kehendak-Nya itu, tak ada yang tahu apa maksud dari segala yang terjadi disini. Bahkan aku dan para malaikat pun tak tahu. Hanya Dia," terang Maut.
Adam terdiam. Dunia ini memang absurd, pikirnya. Segala yang terjadi di sini tak ada artinya. Berbuat baik tak tentu berujung bahagia, berbuat jahat pun tak tentu sengsara. Jika ada maksud dari segalanya ini, ia tak akan dapat menemukannya di sini.
Seolah dapat membaca pikirannya Maut berkata, "Jika kau ingin tahu maksud dari segala sengsaramu, dan semua yang terjadi di sini, aku dapat mengantarmu ke sana. Ikutlah aku, ini waktumu untuk tahu."
Tak ada lagi yang tersisa baginya di sini. Adam telah tinggal selama 45 tahun, berjuang menemukan makna dari penderitaannya. Ia telah menganut nilai-nilai yang tak disadarinya, membuat pilihan-pilihan dengan alasan yang tak mampu diingatnya. Ia terbawa arus hidup, tidak sadar bahwa ia mampu mengemudi dalamnya. Ia yakin ia tahu keinginan Sang Pencipta, yakin akan kebenaran ilmu-ilmu sorga. Tapi hidupnya justru menjadi kontradiksi dari segala yang ia pikir ia tahu.
Adam ingin jawaban. Ia mengangguk.
Maut tersenyum. Ia singkap tudung gelapnya, menampilkan wajah wanita lembut keibuan. Perlahan ia dekap Adam, pelukan lembut yang mengingatkan Adam akan Ibu, Ayah, Laila, dan semua orang lain yang dicintainya di dunia.
Ketika fajar tiba nafas Adam sudah tak lagi tersengal. Jasadnya damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H