"Siapa yang minta dijemput, hai Maut? Aku masih belum ingin pergi. Masih banyak yang belum kugapai di dunia ini."
"Ini waktumu. Kau sudah diberi waktu 45 tahun di tempat ini, lebih dari yang diberi pada banyak orang lain. Banyak yang sudah kau nikmati," Maut mengingatkan Adam.
"Nikmati? Kapan aku menikmati hidup ini, hai Maut? Tolonglah ingatkan karena aku tak ingat. Hidupku ini adalah sebuah keterpaksaan besar, tak ada yang kunikmati. Saat aku hendak hidup untuk diriku sendiri kau lawat aku dengan penyakit ini. Kapan aku sempat menikmati hidup?!" tuntut Adam.
"Terpaksa? Siapakah yang memaksamu, manusia? Adakah yang menempelkan pistol di pelipismu selama hidup ini? Atau mengancam dengan pisau di leher? Ini hidupmu, semua yang terjadi hingga detik ini adalah hasil perbuatanmu," jawab Maut, masih lembut.
"Terpaksa!" jawab Adam, suaranya meninggi. "Apa lagi akan kau sebut hidupku ini? Pendidikan yang kuambil dengan terpaksa, wanita yang kunikahi tanpa kuminta, pernikahan yang kujalani tanpa kuingini. Telisiklah hidupku ini untuk hal yang ku mau. Aku yakin tak satu pun akan kau temui."
Maut tak membalas, hanya diam. Dari balik selubung tudung itu Adam merasakan pandangan tajam menembus jiwanya.
Mungkinkah Maut ditunda, diyakinkan dengan kata-kata? Adam tak tahu. Tapi tak ada salahnya untuk berharap. Pada akhirnya hanya harapan yang ia punya.
"Kau lupa," akhirnya Maut berkata. "Semua itu adalah keputusan yang kau ambil sendiri, pilihan yang kau pilih sendiri. Beberapa kau ambil dengan yakin , yang lain penuh bimbang. Tapi itu pilihanmu, tak ada yang mengancam, apalagi memaksa. Kini kau tak suka hasilnya dan dosa kau bebankan pada semesta. Mari, aku akan mengingatkanmu."
Adam melihat lengan jubah hitam legam itu terangkat, mengarah padanya. Ia hendak menepis tetapi terlalu lemah untuk mengangkat tangan. Adam mengutuk penyakitnya, tetapi tetap berusaha. Ia tak akan pergi dibawa tanpa perlawanan, tekadnya.Â
Sebentuk tangan wanita, lembut keibuan, menjelma dari balik jubah itu. Adam hanya mampu menggeser lengannya sedikit, jauh dari cukup untuk menjauhkan tangan lembut itu darinya.
Tangan lembut Maut itu menyentuh pipinya, lembut sekali. Seketika semuanya berputar, bangsal dan ranjang, pasien dan penunggunya hilang dalam putaran cahaya. Inikah maut? Apakah ia sudah mati?