Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen | Percakapan di Akhir Malam

28 November 2018   16:32 Diperbarui: 28 November 2018   16:58 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benar, manusia, jawab Maut, semua itu demi kebahagiaan Ayah dan Ibu-mu. Itu lah yang utama bagimu, selalu. Kau ingat kau tak punya saudara untuk menggantikanmu membahagiakan mereka. Jika kau membangkang, siapa lagi yang mereka punya? Melulu itu isi benakmu sedari dulu, tak terkecuali saat itu.

"Tentu saja aku memikirkan itu. Aku manusia, sudah kodratku ingin membahagiakan ayah dan ibu. Kau yang makhluk gaib, tanpa ayah dan ibu, taka akan mengerti! Anak mana yang akan membangkang, menyedihkan hati ibu yang melahirkannya dan ayah yang merawatnya?" tantang Adam.

Banyak. Demi berbagai alasan banyak anak yang membangkang ayah dan ibunya. Demi cinta, demi karir, demi harta. Oh, masih banyak lagi yang lain. Itu pilihan mereka. 

Saat itu kau dihadapkan pada pilihanmu: kebahagian orang tuamu atau keinginan nuranimu. Kau memilih apa yang akan selalu kau pilih, kebahagiaan orang tuamu. Demi alasan itu pula kau tekun dalam pilihanmu. Kau belajar dan berprestasi, menyelesaikan pendidikan itu lebih cepat dari banyak rekan sebayamu. Kau mengambil keputusan itu tanpa kerelaan tetapi tanpa pemaksaan. Semua itu datang dari dirimu sendiri.

Ayah dan ibumu telah lebih dulu kujemput. Kini membahagiakan mereka tidak lagi tampak penting. Pilihan yang dulu kau ambil sendiri, walaupun dengan tak rela, kehilangan pembenarannya. Bertahun-tahun kau terjebak akibat keputusan saat itu, pilihan yang kehilangan pembenaran. Dalam kegetiranmu kau tak mau menyalahkan diri sendiri. Maka kau salahkan orang tuamu. Mereka yang dahulu menjadi pembenaran tinggal jadi kambing hitam.

Kurang ajar, batin Adam. Ia tak terima cintanya pada orang tua diragukan oleh Maut, makhluk gaib yang tak tahu ayah dan ibu. Amarah menelan rasa takutnya.

Tetapi, belum sempat ia membalas dunia kembali berputar. Sofa, karpet, dan tiga orang di bawah menghilang. Sebagai gantinya muncul pemandangan taman: rumput hijau dan jalan setapak dari batu. Matahari sore jatuh menyinari. Di kursi taman duduk sepasang manusia, pria dan wanita.

Adam kenal betul wanita itu. Laila, batinnya. Seorang wanita yang ia cintai hingga kini. Wanita yang bukan istrinya.

Ingatkah kau akan dia? tanya Maut.

"Tentu saja. Laila. Satu-satunya wanita yang kucinta. Hingga kini pun masih ku cinta dia. Kau tak tahu cinta, tak tahu betapa sedihnya aku saat harus mengakhiri hubungan dengannya," jawab Adam.

Harus? Siapa bilang kau harus mengakhiri hubungan dengannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun